Advertisement

Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 172

Joko Santosa
Sabtu, 26 Desember 2020 - 02:27 WIB
Budi Cahyana
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 172 Sandyakala Ratu Malang - Harian Jogja/Hengki Irawan

Advertisement

172

Darsi seperti kesurupan. Berteriak-teriak menyambut datangnya ombak. Berkecipak air laut, lalu berguling-guling di pasir, kadang tertawa seperti sedang bercanda dengan kekasihnya.

Advertisement

“Kekasihku, aku bawakan bunga wijayakusuma yang mampu menghidupkan orang mati. Engkau di mana?”

Seperti dituntun kekuatan gaib, atau mungkin mendapat wisik dari Kanjeng Ibu, ia mendaki lereng terjal menuju puncak bukit yang penuh batu hitam. Tidak lama kemudian, Darsi berhenti di mulut gua yang gelap. Ratusan kelelawar keluar masuk gua sambil bercuitan.

Gua selebar 20 meter ini dikenal sebagai gua siluman, keangkerannya membuat banyak pertapa menghindari tempat ini. Tidak dengan Darsi, tapi. Ia nekat memasuki gua, namun seolah ada bisikan yang mengingatkannya berhati-hati. Ia merangkak sembari kedua tangannya meraba-raba. Hampir dua puluh meter berjalan, tangan Darsi merasakan lubang menganga di depannya.

“Sumur.” Darsi mulai terbiasa dengan kegelapan. Apalagi sembilan bulan mengonsumsi empedu ular, daun-daun serta akar yang berkhasiat, juga jamur putih, membuat matanya awas. Ia ngeri mengetahui sumur itu dalam sekali. Batu sekepalan tangan yang ia lemparkan sama sekali tidak terdengar menyentuh dasar. Di belakang liang sumur terdapat reruntuhan atap gua dengan latar belakang stalaktit. Darsi membalikkan tubuh lalu merangkak balik arah. Peluh membasahi tubuhnya. Ia membayangkan badannya hancur mumur terjerumus ke dalam sumur yang mungkin saja dasarnya batu runcing atau sarang ular berbisa macam helcher atau king cobra.

“Margapati.” Darsi teringat cerita Markoni, sesama penghuni lokalisasi, bahwa di sekitar Pantai Widara Payung ada gua maut yang oleh warga diberi nama Gua Siluman atau Margapati : jalan kematian.

Menurut Markoni, gua Margapati sebenarnya keraton tua sebagai kerajaan siluman, yang dijaga sepasang raksasa bernama Singalodra dan Nagaraja. Di istana ini sering digunakan ajang gathering para tokoh iblis, dan di dalamnya terdapat batu Ganda Mayit yang setiap malam Selasa Kliwon serta Jumat Legi menyiarkan aroma anyir. Ada pula batu Selendang Mayang dikelilingi pilar-pilar besar. Batu tersebut sesungguhnya stalagmit yang terbentuk pada era megalitikum. Di bulan sura yang keramat, batu angker itu mengeluarkan cahaya biru kehijauan.

Konon, areal Margapati merupakan lantai samudra purba ratusan juta tahun silam, yang muncul di permukaan tanah dan memiliki kekayaan fosil serta bebatuan alam. Salah satu bukti kawasan itu ubin samudra, banyak jenis batuan antara lain batuan beku, sedimen dan metamorf.

Batuan beku (basal, gabbro, andesit, diabas, dan dasit) juga batuan sedimen (kalkarenit, rijang, konglomerat) serta batuan metamorf (serpentinit, sekis mika, karmer, kuarsit) tersebar di perbukitan. Di balik situs geologi Margapati yang berbukit dalamnya terdapat fosil bawah laut. Margapati adalah text book alam untuk para ilmuwan (geolog) dan layaknya kotak hitam (black box) bagi segala proses semesta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Gelombang I Pemberangkatan Jemaah Calon Haji ke Tanah Suci Dijadwalkan 12 Mei 2024

News
| Jum'at, 19 April 2024, 17:57 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement