Advertisement
Lambat Menikah Bikin Lebih Bahagia, Ini Ulasan Peneliti
Advertisement
Harianjogja.com JOGJA—Menikah lebih lambat cenderung membuat seseorang bahagia. Saat pasangan menikah di waktu yang dianggap tepat, latar belakang pendidikan dan ekonomi sudah cukup matang dan mapan.
Argumen ini berasal dari penelitian Matt Johnson dari Universitas Alberta berjudul Better Late Than Early: Marital Timing and Subjective Well-Being in Midlife tahun 2018. Survei yang menganalisis sekitar 405 orang di Kanada menghasilkan kesimpulan apabila pernikahan dini dapat menyebabkan berkurangnya kepuasan di usia paruh baya. Menunda pernikahan bisa membuat seseorang lebih bahagia dalam jangka panjang.
Advertisement
Survei berlangsung beberapa tahun, sejak sampel lulus sekolah menengah atas hingga awal usia paruh baya. Mereka yang menikah pada usia yang sama atau lebih tua dari teman sebayanya melaporkan tingkat kebahagiaan dan harga diri yang lebih tinggi. “Mereka juga lebih sedikit depresi dibandingkan mereka yang menikah dini,” tulis peneliti sekaligus Pakar Ekologi Keluarga, Matt Johnson.
BACA JUGA : Jokowi ke Solo, Hadiri Pernikahan Keponakan, Putra Anwar Usman
Sampel terdiri dari orang-orang sejak berusia 18 hingga 43 tahun. Penelitian yang berlangsung sejak 1984, melihat rata-rata sampel menikah pada akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990an. Median usia menikah bagi laki-laki dalam kelompok tersebut adalah 28 tahun, dan bagi perempuan 25 tahun.
Lebih Mapan
Pernikahan dini cenderung membuat pasangan tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka juga berpotensi memiliki anak lebih awal dari waktu optimalnya. Akibatnya, pasangan tersebut terjebak dalam karier yang tidak mereka cita-citakan.
Mereka yang menikah lebih ‘terlambat’ cenderung memperoleh lebih banyak pendidikan dan pekerjaan dengan gaji lebih tinggi. Keduanya merupakan indikator kesejahteraan subjektif jangka panjang yang lebih baik.
“Analisis kami menunjukkan mereka yang memperoleh gelar universitas (sarjana) atau lebih tinggi juga lebih cenderung terlambat menikah,” kata Johnson.
Mereka yang meluangkan waktu untuk berjalan menuju pelaminan juga memiliki keuntungan berupa kedewasaan serta pengetahuan diri yang menyertainya. “Anda lebih mampu menavigasi kehidupan dan hubungan Anda dengan cara yang lebih mungkin membawa hasil yang baik,” katanya.
Bukan Tanpa Risiko
Meski ada potensi lebih bahagia, namun menunggu terlalu lama untuk menikah bukan berarti bebas risiko. Semakin dewasa, lingkungan pertemanan dan juga pencarian pasangan semakin menyempit. Sehingga perlu mencari jalan tengah, umur menikah yang sekiranya tidak terlalu cepat maupun lambat.
Namun saat bicara tentang waktu yang tepat, satu dan orang lain punya indikatornya sendiri-sendiri. Apalagi hal yang berurusan dengan cinta, tidak ada yang bisa merekayasa atau mengontrolnya. "Ada sedikit kebetulan di dalamnya, bagaimanapun juga, cinta itu terjadi secara spontan."
Menikah vs Tidak Menikah
Apabila sebelumnya kita membahas perbandingan menikah dini dan menikah ‘lembat’, kali ini kita membandingkan dampak orang yang menikah dan tidak menikah. Dalam salah satu kajian, menikah membuat orang lebih bahagia dan sehat dibandingkan orang yang lajang dan tidak menikah.
Penelitian tersebut berjudul ‘Happy, Healthy, and Wedded? How the Transition to Marriage Affects Mental and Physical Health’ karya Charlie Huntington, Scott M. Stanley, Brian D. Doss, Galena K. Rhoades yang terpublikasi di Journal of Family Psychology. Dalam penelitian yang fokus pada indeks kesehatan mental dan fisik ini, sampel sebanyak 1.078 orang.
Dibandingkan dengan mereka yang tinggal bersama atau berkencan (namun tidak menikah), individu yang menikah umumnya melaporkan kondisi mental dan kesehatan fisik yang lebih baik. Temuan juga mengindikasikan apabila menikah lebih membahagiakan dibanding melajang.
BACA JUGA : Faktor Motivasi dan Turunnya Angka Pernikahan di Indonesia
“Ada indikasi semakin pasti suatu hubungan dalam pasangan, membuat orang lebih sehat secara mental dan fisik,” tulis dalam laporan.
Temuan lain menyatakan apabila orang yang memiliki skill penyesuaian diri yang baik, mereka lebih besar kemungkinan untuk menikah. Namun yang perlu menjadi catatan, temuan ini menyimpulkan dari sedikit sampel. Artinya setiap kondisi keluarga punya kekhasan masing-masing.
Ada kondisi yang justru bisa semakin tidak menyehatkan apabila memiliki pasangan yang tidak tepat. Bahkan dalam beberapa pendapat ahli, apabila lebih baik untuk berpisah, maka opsional itu juga layak dipertimbangkan. Salah satu kondisinya semisal terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau situasi membahayakan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Presiden Prabowo Sebut Muhammadiyah Jadi Contoh Kehidupan Inklusif dan Toleran
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- 96 Perusahaan Promosikan Potensi Industri Perfilman di JAFF Market 2024
- Ratusan Unit Rusunawa di DIY Belum Terisi, Ini Daftarnya
- 19.000 Undangan Tak Sampai ke Tangan Pemilih, Bawaslu Minta KPU Bantul Lakukan Evaluasi
- Cara Hidup Hemat dengan UMR Jogja
- Pemkot Pastikan Refocusing Anggaran MBG Tak Ganggu Program Penting Lainnya di Kota Jogja
Advertisement
Advertisement