Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 030

Advertisement
Ki Permana lalu menyeruput teh panas legi kentel dengan nikmat—sampai sekarang Desa Bayat terkenal dengan angkringan tiga ceret yang menjajakan teh nasgitel.
“Kalau aku sekadar ikut, Kangmas Demang. Ingin melihat sendiri betapa gemah ripahnya kademanganmu ini,” sergah Pangeran Arumbinang, yang kemudian teringat yundanya. “Di mana kakang mbok Mila Banowati, Kangmas? Aku tidak melihat yunda keluar menemui kami.”
Demang Suradipa memasang raut sedih. Berkali-kali ia menghela napas panjang.
“Ini yang mengganggu pikiranku, Dimas. Sepintas tidak terjadi sesuatu. Kawula tampak raharja, paman petani bekerja di sawah dengan gembira. Tapi …”
“Tapi kenapa?” Pangeran Arumbinang mengerutkan kening.
“Telah terjadi peristiwa hebat yang mengguncang ketenangan di sini.”
“Peristiwa apa, Nakmas Demang?” Ki Permana ikut bertanya.
“Belum lama ini aku mengutus diajeng Mila Banowati beserta Latri anakku, untuk sowan ke Mataram dengan kawalan bregada plangkir. Menurutku, pasukan terlatih itu cukup memadai apalagi Tembayat Mataram terhitung aman selama ini. Akan tetapi, paman ..”
“Teruskan ceritamu Nakmas.”
Ki Suradipa menarik napas, dan kedua matanya menjadi basah.
“Di tengah hutan Somawana mereka dicegat gerombolan perampok di bawah pimpinan begal belia putra Begawan Sempani. Delapan orang pemikul jempana dibunuh tanpa ampun. Seluruh anggota bregada plangkir dibinasakan, dan hanya seorang yang berhasil meloloskan diri karena,”
Pangeran Arumbinang mencengkeram lengan Demang Suradipa.
“Apa yang terjadi dengan kakang mbok Mila dan putrinya?”
“Yundamu dan Latri diculik kawanan kecu itu,” desah Ki Suradipa.
“Duh Jagat Dewa Batara!” seru Ki Ageng Permana.
“Para begal harus kita basmi. Sungguh keparat!” umpat Pangeran Arumbinang.
“Aku sudah mengutus bantengnya Tembayat bersama lima bregada, lebih seratus tentara, untuk membasmi kawanan penyamun itu sampai seakar-akarnya, sebab ini secara tidak langsung juga menyangkut marwah Mataram,” ujar bangga Ki Suradipa sekaligus sedih. Demang itu terus memasang wajah muram. Beda dengan Pangeran Arumbinang yang wataknya riang jenaka. Dan mata keranjang. Ia sudah melupakan nasib yundanya.
“Kangmas demang, sayup-sayup di istana aku mendengar kabar angin. Benarkah engkau memboyong sinden cantik dari Srebegan?”
Ki Ageng Permana berdehem, matanya memandang Pangeran Arumbinang dengan sorot menegur. Tapi Demang Suradipa sambil tertawa menjawab gembira :
“Kau maksudkan Nimas Lembah Manah? Memang benar, Dimas.”
“Kangmas ini bagaimana? Kau anggap aku ini apa? Bukankah aku ini adikmu? Mengapa selir-selirmu diperam di kamar? Suruh mereka menyambut kami, beri kesempatan aku mendapat sedikit hiburan,” Pangeran Arumbinang tertawa penuh arti. Demang Suradipa sempat tersenyum, lalu buru-buru menampilkan paras duka seperti semula.
“Dimas, kakangmu ini hanya demang kecil, lain dengan engkau di Mataram. Lembah itu satu-satunya selirku,” ujarnya merendah.
“Bagus! Berbahagialah kakang mbok Mila memiliki suami setia sepertimu. Tapi, adakah yang salah jika Kangmas menyuruh kakang mbok Lembah menemui kami? Ia selirmu, artinya ia juga keluargaku,” kata Pangeran Arumbinang setengah mendesak.
BERSAMBUNG: Sandyakala Ratu Malang-Bagian 031
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Deretan Negara di Eropa yang Bisa Dikunjungi Bagi Pelancong Berduit Cekak
Advertisement
Berita Populer
- Bupati Minta Dewan Pendidikan Beperan dalam Peningkatan Mutu di Gunungkidul
- Sekolah Aman Bencana di Bantul Perlu Perhatikan Penangan Kebakaran
- Dishub Sleman Segera Cek Kondisi PJU di Jalur Mudik
- Padat Karya Sleman Sasar 137 Titik Dengan Alokasi Anggaran Rp17 Miliar
- Pengendara Motor Tabrak Truk di Jalan Parangtritis, 1 Meninggal Dunia
Advertisement