Advertisement
Pendampingan Psikis Anak Pascabencana Perlu Libatkan Orang Tua
Naik anak tangga. / Freepik
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Pakar Ilmu Komunikasi UNP, Evelynd, menegaskan pendampingan psikologis bagi anak pascabencana harus melibatkan orang tua, termasuk dengan membatasi penggunaan gawai. Pembatasan itu penting agar anak terhindar dari paparan informasi yang tidak layak dikonsumsi.
Ia menyebut kegiatan pemulihan trauma perlu dirancang menyenangkan untuk membantu anak kembali stabil, apalagi banyak dari mereka yang menghadapi masa ujian sekolah. Pendampingan bertahap dinilai efektif mengembalikan rasa aman setelah rutinitas mereka berubah di posko pengungsian.
Advertisement
Menurut Evelynd, aktivitas tanpa gawai seperti permainan kolaboratif, membaca cerita hingga kuis dapat memperkuat resiliensi anak. Ia menilai program ini sejalan dengan PP Tunas 2025 yang menekankan perlindungan digital bagi anak, termasuk kewajiban pendampingan orang tua.
"Anak bisa menjauhi gawai jika didampingi dan diberi batasan. Yang paling penting adalah edukasi kepada orang tua tentang informasi apa yang layak dikonsumsi anak," kata Pakar Ilmu Komunikasi UNP Evelynd di Padang, Sumatera Barat, Sabtu.
Ia mengatakan aktivitas yang diberikan kepada anak-anak pascabencana harus dirancang untuk memulihkan kondisi emosional anak termasuk mengurangi ketergantungan mereka pada gawai.
Secara umum, program itu sejalan dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) yang menekankan pelindungan anak dari risiko digital. Regulasi tersebut mengatur filter usia, kewajiban platform serta persetujuan orang tua.
Apalagi, anak-anak adalah masa depan sehingga resiliensi dan literasi harus ditanamkan sejak dini agar mereka tumbuh lebih kuat dan aman di dunia digital.
Terkait kegiatan pendampingan psikologis, jelas dia, harus dibuat menyenangkan agar anak bisa kembali fokus. Sebab, banyak dari mereka yang memasuki masa ujian sekolah sehingga pendampingan itu menjadi sangat penting untuk mengembalikan stabilitas emosi.
Menurut dia, setiap anak pada dasarnya memiliki tingkat pemulihan yang berbeda-beda setelah menghadapi pengalaman traumatis sehingga pendampingan perlu dilakukan secara bertahap dan melibatkan orang tua.
Lebih jauh, ia menjelaskan dalam sesi pendampingan anak-anak dapat diajak mengikuti aktivitas tanpa gawai seperti kuis, menggambar, membaca cerita dan permainan kolaboratif. Pendekatan itu dinilai efektif membantu anak kembali berinteraksi dan memulihkan rasa aman setelah tinggal di pengungsian.
"Tinggal di posko pengungsian membuat rutinitas mereka berubah. Pendampingan harus dipercepat agar anak tidak terlalu lama berada dalam ketidaknyamanan itu," kata dia.
Di samping itu, pendampingan psikososial juga dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai resiliensi agar dampak psikologis bencana tidak berlarut pada anak.
Terkini, pendampingan psikis anak-anak terdampak banjir dan longsor di Sumatera Barat terus dilakukan pemerintah. Salah satunya dilakukan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berkolaborasi dengan Save the Children dan UNP. Pendekatan yang digunakan dalam pendampingan dibuat menyenangkan agar anak-anak kembali bangkit, bersemangat serta fokus menghadapi ujian sekolah pascabencana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona
Advertisement
Berita Populer
- Bantul Perpanjang Status Darurat Longsor Sriharjo Hingga 20 Desember
- Sleman Resmikan Perda RPIK, Target Kontribusi Industri 15,56 Persen
- Cerita Siswa Sekolah Rakyat DIY Perdana Pegang Kamera Ikuti Pelatihan
- Pemkot Jogja Fokus Perubahan Perilaku Soal Sampah lewat Jogja Cling
- Pemkab Gunungkidul Gelar Program Padat Karya di 8 Lokasi
Advertisement
Advertisement




