Advertisement
Guru Besar UGM: Fokus Perceraian Seharusnya Pada Kondisi Perkawinan
Perceraian / Freepik
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Pemeriksaan perkara perceraian seharusnya diarahkan pada kondisi rumah tangga telah pecah atau belum, bukan mencari siapa yang bersalah dalam hubungan.
Hal ini diutarakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Hartini yang sekaligus mengusulkan penerapan sistem perceraian tidak berdasarkan kesalahan untuk mengurangi meluasnya dampak konflik dalam proses perceraian di Indonesia.
Advertisement
"Ini bukan untuk memudahkan perceraian, tetapi agar perceraian tidak menjadi ajang membuka aib dan saling menyalahkan," ujar Hartini, Rabu (5/11/2025).
Usulan itu sebelumnya pernah ia sampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ranting Ilmu/Kepakaran Penyelesaian Perkara Bidang Hukum Islam di Balai Senat UGM, Kamis (30/10).
BACA JUGA
Hartini mengatakan selama ini Indonesia lebih condong menganut sistem perceraian berbasis kesalahan, yang menekankan pembuktian siapa pihak yang bersalah dalam keretakan rumah tangga, termasuk dalam praktik di peradilan agama.
Menurut dia, modifikasi sistem perceraian itu dapat diterapkan tanpa merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksananya.
Ketentuan mengenai perselisihan dan pertengkaran terus-menerus dalam Pasal 19 huruf f PP 9/1975 telah memberi ruang untuk menerapkan model perceraian tanpa kesalahan karena tidak menunjuk salah satu pihak sebagai penyebab.
"Ini pintu masuk bagi Indonesia untuk mengakomodasi perceraian dengan tidak berbasis kesalahan," katanya.
Fokus pemeriksaan perkara dalam perceraian, menurut dia, semestinya diarahkan pada kondisi perkawinan, bukan pada pencarian pihak yang bersalah.
"Tujuan pembuktiannya difokuskan kepada apakah perkawinan ini sudah betul-betul pecah atau belum," katanya.
Menurut dia, sejumlah negara, seperti Belanda dan beberapa yurisdiksi Eropa, telah lebih dulu menerapkan dasar perceraian pada kondisi pecahnya perkawinan tanpa menelusuri pihak yang bersalah.
Selama ini, kata Hartini, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) mensyaratkan pembuktian pisah rumah minimal enam bulan bagi pasangan yang mengajukan perceraian dengan alasan perselisihan terus-menerus.
Untuk itu, dia pun mengusulkan agar durasi syarat pisah rumah itu bisa diperpanjang menjadi satu hingga dua tahun sehingga pasangan memiliki waktu memadai untuk menimbang kelanjutan rumah tangga, termasuk soal pengasuhan anak dan pembagian harta bersama.
"Pokoknya yang penting jangan hanya enam bulan," katanya.
Apabila model tanpa kesalahan itu nantinya diterapkan, Hartini menegaskan bahwa sistem perceraian berbasis kesalahan tetap bisa digunakan.
"Tidak berarti menghilangkan model perceraian yang masih berbasis kesalahan," ucapnya.
Dalam perspektif hukum Islam, menurut Hartini, sebetulnya sudah ada konsep "khuluk" sebagai salah satu bentuk perceraian yang tidak menekankan pencarian pihak yang bersalah.
"Khuluk" merupakan perceraian atas dasar kesepakatan, ketika istri memberikan "iwadh" atau uang tebus kepada suami, kemudian diakhiri dengan pengucapan talak oleh suami.
"Dalam hukum Islam itu sudah dikenal 'khuluk', dan di situ tidak mencari siapa salah. Itu perceraian dengan kesepakatan," jelas Hartini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
IFP Capai 75 Persen Sekolah, Digitalisasi Belajar Dipercepat
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Lurah dan Carik Bohol Ditahan, Pemkab Percepat Penunjukan Plt
- KIM Sokokerep Raih Juara Stand Terbaik di Festival KIM 2025
- Trans Jogja ke Wonosari Masih Wacana, Dishub Gunungkidul Dukung
- Sejarah Baru! YIA Gelar Basket 3X3 di Area Terminal Bandara
- Larangan Maxride & Bentor Berlaku di Bantul, Penindakan Belum Jalan
Advertisement
Advertisement




