Advertisement
FOMO vs JOMO, Mana Gaya Hidup Pilihanmu?
![FOMO vs JOMO, Mana Gaya Hidup Pilihanmu?](https://img.harianjogja.com/posts/2025/02/11/1202981/genz.jpg)
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Istilah FOMO atau fear of missing out, sempat trend dan membuat orang banyak mencoba pengalaman baru. Dampaknya bisa positif atau negative. Kini muncul gerakan yang berlawanan, yaitu JOMO alias joy of missing out.
Jika FOMO membuat seseorang cemas ketinggalan momen-momen menyenangkan, maka JOMO menawarkan ketenangan dalam memilih kegiatan yang lebih memuaskan hati. JOMO, atau kebahagiaan untuk melewatkan sesuatu, seperti dijelaskan oleh psikolog Susan Albers, adalah konsep yang mengutamakan kebahagiaan dan ketenangan batin dengan memilih tidak terlibat dalam kegiatan tertentu demi kepuasan diri.
Advertisement
“Arti JOMO adalah menemukan kepuasan dan kebahagiaan dalam memilih untuk tidak mengikuti aktivitas tertentu, serta lebih fokus pada perawatan diri,” kata Albers, beberapa waktu lalu.
Albers mengatakan bahwa JOMO membantu seseorang secara sadar memilih aktivitas yang benar-benar diinginkan, tanpa tekanan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, JOMO mungkin muncul ketika seseorang memilih untuk tidak menghadiri acara yang sebenarnya tidak ingin dihadiri, seperti pesta ulang tahun yang dirasa hanya sebagai formalitas.
Dengan JOMO, seseorang akan fokus pada pilihan pribadi yang mungkin lebih memberikan rasa nyaman, seperti berolahraga atau menghabiskan waktu berkualitas dengan teman dekat. Albers juga menjelaskan bahwa JOMO berperan penting dalam mengurangi efek negatif media sosial, yang sering kali menjadi sumber utama dari FOMO.
Di era digital, sangat mudah untuk merasa cemas atau iri ketika melihat aktivitas menarik orang lain melalui layar. Menurutnya, salah satu cara untuk mengatasi FOMO adalah dengan mengambil jeda dari media sosial.
“JOMO lebih menekankan pada kualitas kegiatan yang dilakukan daripada kuantitas,” katanya. Dengan mengurangi waktu di media sosial, seseorang dapat fokus pada minat dan tujuan pribadi yang lebih memberikan kepuasan.
Beberapa manfaat JOMO antara lain meningkatkan produktivitas dan fokus; meningkatkan kualitas interaksi dalam hubungan sosial; serta memperbaiki kesejahteraan emosional dan fisik.
Baik dan Buruk
Meskipun memiliki dampak positif, JOMO juga bukan tanpa kekurangan. Albers mengatakan bahwa FOMO dapat menjadi dorongan positif untuk mencoba hal-hal baru dan keluar dari zona nyaman. Melihat aktivitas orang lain bisa memicu inspirasi dan ide baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya.
Selain itu, JOMO bisa terasa lebih nyaman bagi mereka yang memiliki kepribadian introvert. Albers menyebut bahwa individu introvert cenderung lebih menikmati waktu sendiri dan tidak masalah jika melewatkan banyak acara sosial.
Sebaliknya, orang yang memiliki FOMO cenderung berkepribadian ekstrovert, yang menyukai kegiatan sosial dan bersosialisasi. Idealnya, kehidupan seseorang memiliki keseimbangan antara momen FOMO dan JOMO. “Keduanya memiliki manfaat dan tantangan masing-masing,” katanya.
Mengubah FOMO Menjadi JOMO
Bagi yang sering mengalami FOMO dan ingin merasakan lebih banyak JOMO, Albers menawarkan beberapa tips. Pertama dengan mengurangi waktu di media sosial. “Dengan mengurangi waktu di media sosial, perbandingan diri dengan orang lain akan menurun,” katanya.
Pengurangan ini bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya, jika Anda menghabiskan empat jam sehari di media sosial, kurangi menjadi tiga setengah jam, dan secara bertahap turunkan sesuai target.
Cara kedua dengan menetapkan batasan. Jika sering merasa kewalahan dengan banyaknya agenda, penting untuk lebih selektif dalam mengalokasikan waktu. Pastikan hanya menghadiri acara atau kegiatan yang benar-benar memberikan kebahagiaan, bukan karena kewajiban sosial semata.
Ketiga dengan belajar mengatakan tidak. Mengatakan “tidak” adalah langkah penting dalam menjaga batasan. “Tidak apa-apa untuk menolak ajakan,” kata Albers.
Ketika menolak permintaan, cobalah untuk tetap menghargai undangan tanpa harus merasa bersalah atau memberikan alasan panjang.
Mengelola FOMO dan menambah momen JOMO dalam hidup bisa dimulai dengan memilih aktivitas yang benar-benar memberikan kebahagiaan dan kepuasan. “Sebelum menyetujui undangan, tanyakan pada diri sendiri apakah Anda melakukannya karena takut ketinggalan atau karena benar-benar menginginkannya,” katanya.
Dengan jeda untuk mempertimbangkan, seseorang dapat menentukan apa yang membawa kebahagiaan sejati, baik di tengah keramaian maupun dalam kesendirian.
Fokus Menjalin Hubungan Baik
Orang yang JOMO berfokus agar orang menjalin hubungan baik secara langsung antara sesama makhluk hidup. JOMO juga memberikan ruang khusus untuk diri dan memberikan ruang emosi untuk meluapkan secara bebas.
Gaya hidup JOMO menikmati momen atau keadaan tanpa merasa bersalah jika tidak mengikuti pilihan tren terbaru. Orang yang JOMO suka meningkatkan keterikatan hubungan antara keduanya. Gaya hidup JOMO digambarkan beraktivitas jalan-jalan tanpa melihat layar gawai atau di rumah membuat keseruan secara langsung, tanpa melalui ponsel.
Penulis buku The Joy of Missing Out, Christina Crook, menjelaskan JOMO merupakan upaya untuk mendapat momentum secara sadar dalam mengambil keputusan, memilih terputus dari teknologi (media sosial), dan menjalani kehidupan secara luar jaringan (offline).
JOMO bisa menjadi suatu langkah besar agar seseorang terlepas dari FOMO. Orang yang JOMO akan berperasaan puas dan bahagia, karena melepaskan dari aktivitas media sosial dan mengeksplorasi kebutuhan diri sendiri.
Gaya hidup JOMO berguna untuk mengatasi cara hidup FOMO yang merugikan. Para psikolog pun menyetujui gaya hidup JOMO bermanfaat mengurangi ketergantungan teknologi. JOMO bermanfaat mengurangi kecemasan dan stres yang membuat kesehatan mental bisa selalu stabil. JOMO juga akan meningkatkan kesejahteraan emosional dan fisik.
Membatasi Hiburan
Saat ini semakin banyak dan beragam jenis hiburan, mulai dari konser, promo liburan, dan lainnya. Namun sebelum mengambil keputusan untuk menikmati hiburan, orang perlu memikirkan kembali seberapa penting hal tersebut untuk dilakukan. Psikolog pendidikan dan juga dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta, Adhissa Qonita, membagi tips untuk membatasi diri dalam mengikuti tren hiburan, seperti menonton konser, pergi liburan, dan berbelanja daring.
"Ini enggak harus FOMO (fear of missing out), konteksnya adalah bagaimana cara kita mengerem diri. Secara umum kita bisa melihat ke diri sendiri sebelum menyimpulkan dan menyelesaikan sesuatu," kata Adhissa, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, penting untuk berpikir sejenak sambil melihat faktor untung rugi suatu kegiatan hiburan sebelum melakukannya, terutama yang bersifat tren belaka. Jangan lupa melihat ketersediaan anggaran dan tenaga sebelum melakukan kegiatan hiburan.
"Kalau berpikirnya tergantung ke orang masing-masing tapi tidak harus sehari. Sebenarnya cuma butuh beberapa menit saja dan kita bisa melihat pro's (pro) dan con's (kontra), take time dulu. Secara keuangan, memenuhi enggak kita. Kalau pun memenuhi apakah uangnya akan dipakai untuk kebutuhan lain atau tidak," katanya.
Tentukan prioritas
Adhissa menilai terkadang sulit menentukan prioritas setiap orang karena tidak semuanya memiliki prioritas yang sama. Selama tidak terjerumus mengikuti tren secara berlebihan, kegiatan hiburan sah-sah saja dilakukan.
"Yang penting supaya kita tidak terjerumus dengan tren, kita lihat juga keuangan dan tenaganya," kata Adhissa. "Jadi, kembali lagi ke diri sendiri. Cek ulang apa baik dan buruknya, kita pasti akan berhenti melakukannya kalau ujung-ujungnya banyak buruknya."
Misalnya menonton konser. Akhir-akhir ini, banyak konser artis dalam maupun luar negeri yang digelar di Indonesia dan tidak sedikit masyarakat yang menonton. Alih-alih menikmati konser, banyak yang memaksakan diri dan berujung hanya mengikuti tren saja. Karena itu, jangan lupa melihat faktor keuntungan maupun kerugian kegiatan hiburan agar tidak terjebak dalam fenomena FOMO berlebihan.
"Mengukur diri itu wajib. Kita harus lihat dari dua sisi yang menguntungkan atau merugikan," katanya. "Kalau merasa hal itu masih menguntungkan, jangan-jangan itu bukan FOMO tapi kebutuhan sifatnya."
No Buy Challenge
Sejak akhir tahun 2024, muncul gerakan No Buy Challenge 2025. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk mengurangi atau tidak belanja barang dan jasa selama tahun 2025.
No Buy Challenge 2025 awalnya ramai di media sosial TikTok, dengan tagar #NoBuyChallenge telah digunakan lebih dari 50 juta kali. Gerakan semakin menyebar ke media sosial lainnya. Secara garis besar, No Buy Challenge merupakan tantangan pada masyarakat untuk mengurangi atau tidak berbelanja barang atau jasa.
Tantangan ini berlangsung sepanjang tahun 2025. Dalam pergerakan di media sosial, munculnya pemahaman ini lantaran banyak kebijakan dari pemerintah yang memberatkan masyarakat. Ada potensi munculnya banyak orang miskin baru. Fenomena ini dianggap sebagai respon masyarakat kelas menengah terhadap ekonomi yang semakin sulit serta ketidakpastian finansial.
Salah satu akun instagram @Casriani menjadi bagian dari kampanye No Buy Challenge 2025. Dalam salah satu unggahan akun milik Cempaka Asriani tersebut, dia mengurai sembilan daftar barang yang tidak dibeli atau dikurangi selama 2025. Barang-barang itu di antaranya cinderamata, air minum kemasan, kopi untuk dibawa pulang, dekorasi rumah musiman, hingga produk wajah dan perawatan kulit.
"Makeup atau skincare sebelum habis nggak usah beli. Jadi benar-benar sampai empty (kosong). Benar-benar dibuka jar-nya, bersihin korek-korek, kalau habis baru beli lagi," kata Cempaka yang memiliki 37.400 pengikut di akun Instagram.
Perempuan yang juga pemilik SARE Studio, brand fashion lokal berkelanjutan, mengatakan kampanye No Buy Challenge sejalan dengan kampanye pribadinya selama ini, agar masyarakat lebih bijak dalam berkonsumsi. Kampanye No Buy Challenge 2025 hanya momentum untuk mengutarakan kegelisahannya tentang konsumsi yang berlebihan.
Cempaka menyadari ketidakpastian ekonomi di 2025. Sikap bijak dalam berbelanja lebih dari sekadar merespons untuk bisa melepas diri dari perangkap dan hasutan iklan-iklan produk. "Ini masalah sudah ke mana-mana gitu loh, masalah ke mental health, karena semakin banyak kita punya barang enggak membuat kita makin bahagia. Jadi kita makin terperangkap akan banyaknya barang," katanya.
Cempaka mengaku satu dekade lalu, dirinya termasuk orang yang shopaholic atau orang yang kecanduan belanja. Dia tidak bisa mengendalikan diri untuk membeli barang. Barang-barang yang dibeli terutama terkait dengan fashion. Saat itu Cempaka masih bekerja di sebuah media fashion yang menuntut untuk tampil trendy sesuai perkembangan zaman. Namun pada 2014, dia mengalami sakit lambung akut, yang menurut diagnosis medis merupakan respons dari stres.
Gerakan No Buy Challenge bukan barang baru. Gerakan semacam ini, salah satunya gaya hidup minimalisme, sudah lebih dahulu menyebar. Gerakan tersebut memandu orang-orang yang ingin lebih sedikit memiliki barang, untuk semakin menaikkan nilai kehidupan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
![alt](https://img.harianjogja.com/posts/2025/01/27/1202297/liburan-garut.jpg)
Liburan ke Garut, Ini Lima Tempat Wisata Alam Tersembunyi yang Layak Dinikmati
Advertisement
Berita Populer
- Tetap Berlanjut, Proyek Pembangunan Jalan Alternatif Sleman-Gunungkidul Tak Terdampak Efesiensi Anggaran
- Puluhan Kendaraan Umum Terjaring Penertiban Dishub Jogja
- Puluhan Warga di Mlati Diduga Keracunan Setelah Mengikuti Arisan, Dinkes Sleman Periksa Sampel Makanan
- Terdampak Efesiensi Anggaran, Pengadaan Alat dan Mesin Pertanian di Sleman Terpaksa Ditunda
- Dianggarkan Rp1,4 Miliar, Program Padat Karya di Kota Jogja Digelar di Empat Lokasi
Advertisement
Advertisement