Advertisement

Promo November

Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja Hampir Tidak Pernah Jadi Pembahasan, Padahal Penting

Rio Sandy Pradana
Sabtu, 26 Oktober 2024 - 19:47 WIB
Maya Herawati
Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja Hampir Tidak Pernah Jadi Pembahasan, Padahal Penting Ilustrasi kesehatan mental (Freepik)

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Isu kesehatan mental masih kerap diabaikan di lingkungan kerja. Hal ini disorot oleh Kementerian Kesehatan.

Direktorat Kesehatan Jiwa Ditjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes, yang diwakili Puspita Tri Utami mengatakan kesehatan mental memiliki dampak yang signifikan terhadap produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup seseorang. Namun, kesehatan mental kadang diabaikan dan dipandang sebelah mata.

Advertisement

"Jika kesadaran pengurangan risiko pada kesehatan mental semakin meningkat, saya yakin visi Indonesia Emas 2045 akan bisa tercapai,” kata Puspita dalam diskusi bertajuk “Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja”, dikutip Jumat (25/10/2024).

Berdasarkan data WHO pada 2019, diperkirakan 15% orang dewasa usia kerja mengalami gangguan mental. Secara global, diperkirakan 12 miliar hari kerja hilang setiap tahun di seluruh dunia akibat depresi dan kecemasan, dengan biaya mencapai US$1 triliun per tahun dalam kehilangan produktivitas.

Ketua Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (Masindo), Dimas Syailendra, menilai tantangan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan stres, memiliki risiko besar untuk menghambat pencapaian produktivitas masyarakat Indonesia.

"Pendekatan pengurangan risiko yang komprehensif, termasuk intervensi kebijakan, edukasi, dan dukungan psikologis, sangat diperlukan,” kata Dimas.

Sementara itu, Pakar Kesehatan Publik dan Ahli Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Felosofa Fitriya, menekankan pentingya mengidentifikasi dan mengelola faktor risiko yang memicu gangguan mental di tempat kerja, seperti tekanan pekerjaan berlebih, kurang jelasnya peran, dan minimnya dukungan manajemen.

BACA JUGA: Gula Aren Tak Selalu Jadi yang Terbaik Menggantikan Gula Putih, Ini Penjelasannya

"Perusahaan juga harus proaktif dalam mendukung kesejahteraan mental karyawan dengan menyediakan akses ke layanan kesehatan mental serta bentuk-bentuk edukasi sadar risiko dan pengurangan risiko yang relevan," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Psikolog Sukmayanti Rafisukmawan menuturkan, kebiasaan-kebiasaan berisiko yang muncul akibat stres dan tekanan dalam lingkungan pekerjaan salah satunya dapat ditangani dengan pendekatan Cognitive Behaviour Modification (CBM).

Menurutnya, kebiasaan berisiko ini diusahakan untuk dikurangi terlebih dahulu daripada dihentikan langsung secara tiba-tiba (cold turkey). Melakukan pengurangan secara bertahap (desentisisasi) dari kebiasaan-kebiasan berisiko yang timbul akibat tekanan pekerjaan dapat dijadikan sebagai solusi.

“Jika bisa berhenti secara langsung, tentu akan lebih baik. Namun, jika pendekatan seperti itu tidak berhasil dilakukan maka konsep pengurangan risiko dapat menjadi cara mengatasi kebiasaan berisiko,” ujarnya.

Oleh sebab itu, perokok yang sulit berhenti merokok beralih ke modalitas terapi sulih nikotin dan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, yang menerapkan konsep pengurangan risiko sambil terus melakukan konseling dengan psikolog.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

KPK Tetapkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah Jadi Tersangka Pemerasan dan Gratifikasi

News
| Senin, 25 November 2024, 00:57 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement