Advertisement
Banyak Korban di Itaewon Disebabkan Henti Jantung, Kenali Penyebabnya

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Tragedi perayaan Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan menelan korban jiwa hingga ratusan orang.
Informasi terbaru sebanyak 149 orang tewas dan 150 lainnya terluka.
Advertisement
Penyebab ratusan korban meninggal itu disebut karena mengalami henti jantung.
“Sekitar 50 pasien mengalami henti jantung,” demikian laporan yang dipublikasikan Koreaherald seperti dikutip Bisnis.com, Minggu (30/10/2022).
Apa penyebab henti jantung? Berikut penjelasannya.
Melansir Antara, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Konsultan Aritmia dan Intervensi dari Mayapada Hospital Surabaya, Rerdin Julario dalam keterangannya beberapa waktu lalu, menyebut bahwa henti jantung disebabkan oleh aritmia.
"Aritimia atau gangguan irama jantung adalah gangguan pada sistem kelistrikan jantung yang menyebabkan denyut jantung menjadi lebih lambat (bradikardi), lebih cepat (takikardi), atau tidak beraturan. Denyut jantung dikendalikan oleh sistem kelistrikan sehingga dapat berdenyut dengan irama yang teratur,” jelasnya.
Normalnya, jantung akan berdenyut 60 – 100 kali/menit. Ketika tidak berdenyut dengan normal, jantung tidak dapat memompa darah sebagaimana mestinya dan mengakibatkan gangguan asupan darah ke organ tubuh lainnya. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan organ penting lainnya.
Gejala aritmia dapat berbeda-beda untuk setiap orang tergantung dari jenis aritmia yang dialami. Gejala yang biasanya dirasakan adalah jantung berdebar (palpitasi), nyeri dada, sesak nafas, mudah lelah, keringat dingin, rasa akan pingsan.
Jika terlambat ditangani, aritmia dapat menyebabkan henti jantung yang dapat berujung pada kematian.
Aritmia biasanya muncul saat olahraga, stress atau setelah terpapar kafein, nikotin dan obat-obatan tertentu. Aritmia juga dipengaruhi oleh faktor risiko lain seperti memiliki penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes, hipo/hipertiroid, penyakit jantung bawaan, dan faktor genetik.
Aritmia juga meningkatkan risiko seseorang mengalami stroke 4 – 5 kali lebih besar dibanding yang tidak mengalami aritmia. Data CDC tahun 2017 menyebutkan bahwa aritmia menyebabkan stroke iskemik sebesar 15 persen – 20 persen.
Untuk mendiagnosa aritmia, dokter akan mengevaluasi gejala dan riwayat medis pasien melalui pemeriksaan fisik dan penunjang, seperti Elektrokardiografi (EKG), Treadmill Test, Holter Monitor, dan Electrophysiology Study (EP Study).
“Electrophysiology Study adalah golden standard untuk mendiagnosa aritmia. Dengan pemeriksaan ini, dapat dipetakan aktivitas listrik jantung sehingga titik penyebab gangguan kelistrikan jantung dapat diketahui. Berdasarkan hasil EP Study dapat ditentukan jenis aritmia dan terapi yang dibutuhkan untuk mengembalikan irama jantung normal.” kata Rerdin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Berita Pilihan
Advertisement

Setelah Raih MURI, Kini Habbie Memenangkan Penghargaan Indonesia Brand Champion 2023
Advertisement

Menengok Lava Bantal, Destinasi yang Dahulu Hanya Jadi Objek Penelitian Mahasiswa
Advertisement
Berita Populer
- Kamis Pahing, Saatnya Siswa SMKN 1 Pandak Pasarkan Hasil Produk Belajar Mereka
- Siap Sambut Delegasi ATF 2023 sejak dari YIA, Ini yang Disiapkan Dispar Kulonprogo
- Cagak Aniem Peninggalan Perusahaan Listrik Belanda di Perempatan Palbapang Bantul Akan Direhabilitasi
- Modus Test Drive, Residivis Penipuan Bawa Kabur Sepeda Motor di Jogja
- Sejumlah Bansos Bakal Digelontorkan untuk Warga Kulonprogo Tahun Ini, Cek Daftarnya!
Advertisement
Advertisement