Advertisement
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 169

Advertisement
169
Darsi tidak tahu bahwa penyakit jantung serta raja singa di tubuhnya sudah sirna. Bentuk badannya dalam usia 43 tahun, kembali sekal dan bugar. Payudaranya montok. Wajahnya segar kemerahan. Sinar matanya tajam berkilat. Setiap pagi ia berjemur di bawah Matahari, telanjang bulat. Entah kenapa, ular jenis helcher tidak bereproduksi di daratan. Sedangkan ular laut varian laticauda memang jinak terhadap siapapun.
Advertisement
Ia hidup nyaman di pulau terpencil. Setiap malam, di dalam gua Darsi melakukan semadi, yang dulu ia pelajari saat menjadi istri demang Kertapati.
SANG waktu berjalan rikat atau lambat tidak dipengaruhi oleh apa dan siapa pun. Semua takluk kepada waktu. Yang awalnya sejuk, lama-lama melapuk lalu membusuk digerogoti waktu. Manusia menyumpah serapah ketika tergesa dan menganggap sang waktu berjalan merangkak; tapi pada titik yang sama ada yang menyesali waktu cepat berlalu tahu-tahu tua keriput.
Tanpa terasa, Darsi sembilan bulan menghuni pulau ular, ia merasa nyaman tenteram di dalam gua Masigitsela (konon pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk nenepi). Selain stalagtit dan stalagmit, di ceruk gua terdapat mata air jernih yang dimanfaatkan Darsi untuk mandi jamas.
Gua yang ditempati Darsi berbentuk mulut raksasa ternganga siap mencaplok. Beberapa jenis burung (kepinis, walet) juga lawa berterbangan keluar masuk gua. Tapi Darsi tidak pernah peduli. Seperti malam itu, bertepatan malam anggara kasih, atau malam Selasa Kliwon. Hari baik yang selalu digunakan Darsi berkhalwat. Ia merangkap kedua telapak tangan membentuk puja. Kedua ibu jari di depan hidung bangirnya. Duduk bersila dengan posisi tegak, matanya terpejam, pernapasannya teratur. Paras Darsi begitu tenang. Memasrahkan diri kepada sang Hyang Wisesa.
Debur ombak, cuitan burung, suara hewan nokturnal, tidak mengusik Darsi dalam semadi. Ia tidak tahu atau mungkin tak menggubris ada anak burung di dalam sarangnya merengek lapar karena induknya tidak pulang dan telah berpindah ke perut elang. Apa dosa anak burung, dan apa dosa induknya? Jawaban yang mudah adalah hukum alam. Darsi juga tidak pernah tahu beberapa ekor ikan pari dilempar ombak ke atas batu karang, berkelojotan megap-megap menanti ajal.
Banyak hal gaib; sesuatu yang ganjil; yang menurut akal sehat jelas tidak adil. Yang baik hidup merana, yang jahat bahagia setidaknya dalam kasat mata. Ini sebuah wadi; satu misteri dan hanya mampu dipahami oleh kesadaran akan kuasa pencipta semesta. Bagaimana kelak nasib seorang Darsi itu pun mutlak di tangan-Nya.
Air laut yang semula jinak tiba-tiba bergejolak. Ombak tinggi menerjang ganas batu-batu karang sekerasnya, lalu kembali ke tengah. Darsi seperti dituntun kekuatan gaib keluar gua dan berjalan menuju pantai. Dari jauh tampak bayangan hitam naik turun seolah sedang menunggang gelombang. Setelah dekat tubir pantai, Darsi melihat seorang wanita ayu dengan rambut panjang terurai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Banjir di Kawasan Puncak Bogor, Satu Orang Meninggal Dunia dan 2 Masih Hilang
Advertisement

Jalur Hiking Merapi di Argobelah Klaten Kian Beragam dengan Panorama Menarik
Advertisement
Berita Populer
- Prakiraan Cuaca di Jogja Hari Ini Cerah, Minggu 6 Juli 2025
- Cek Jalur Trans Jogja ke Lokasi Wisata di Jogja
- Bencana Kekeringan Melanda Bantul, Sumber Air Mengering, Warga Trimurti Andalkan Bantuan Droping Air Setiap Hari
- Jadwal DAMRI Jogja ke Semarang Hari Ini
- Top Ten News Harianjogja.com, Minggu 6 Juli 2025: Kasus Mas-mas Pelayaran, Kapolda DIY Digugat hingga Sekolah Kekurangan Siswa
Advertisement
Advertisement