Advertisement

Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 086

Joko Santosa
Jum'at, 11 September 2020 - 23:47 WIB
Budi Cahyana
Cerita Bersambung Sandyakala Ratu Malang: Bagian 086 Sandyakala Ratu Malang - Harian Jogja/Hengki Irawan

Advertisement

086

Rasa amarah sudah di ubun-ubun Dinar. Matanya berkilat, dan jauh di lubuk hati mulai ragu dengan apa yang dikatakan wiku gaek ini. Benar Pangeran Purwawisesa berencana makar?!

Advertisement

Ia juga paham, putra mahkota atau pangeran pati dipastikan jatuh ke tangan Raden Mas Jolang, bukan turun ke Pangeran Arya Damar atau Raden Rangga apalagi Pangeran Purwawisesa.

“Pangeran Arya Damar berhati bersih. Beliau sahabat terbaikku. Tak ada sedikit pun niat beliau menjadi raja atau patih. Tapi siapa tahu Pangeran Purwawisesa memiliki penggayuh yang besar?” Dinar mulai bertanya-tanya dalam hati.

“Wiku palsu! Jangan coba menipu aku. Mungkin Pangeran Purwawisesa berpikiran ingin menggantikan ayahnya. Tapi tentu dengan cara-cara yang bersih,” ujar Dinar yang sesungguhnya bimbang dengan ucapannya sendiri.

“Bersih itu bagaimana? Kotor itu bagaimana? Dan pentingkah cara bersih atau cara kotor dalam perebutan kekuasaan? Engkau anak dusun mana paham lika-liku politik? Pranacitra, lurah Branjangan, Surayuda, Paryadi, juga kamu sendiri, adalah pengikut setia Panembahan Senopati, maka harus mati. Dan sekarang, cita-cita beliau, juga cita-citaku membunuhmu akan terlaksana.”

“Dukun gemblung, engkau yang segera menyusul Suradipa ke neraka.” Kemarahan Dinar tidak terbendung lagi. Ia kini yakin Pangeran Purwawisesa memang ingin makar dan yang sangat menjengkelkan mengapa pangeran itu berniat mencelakakan Latri yang terhitung keponakan sendiri. Betapa biadabnya. Pangeran itu harus diseret di depan kawula Mataram, dan dipaksa mengakui niat memberontak terhadap Mataram.

Seluruh urat Dinar menegang. Hawa sakti terkumpul di pusar, kemudian berputar-putar dari ujung kaki sampai ubun-ubun. Ia siap menghadapi Wiku Suragati yang sambil tertawa-tawa mengangkat tongkat hitam dan mulutnya mencericit menirukan suara kelelawar. Tiga ekor lawa hitam yang semula menggantung anteng di atas arca Batara Kala menerjangnya. Mata kelelawar itu mencorong merah ditimpa nyala misbah yang remang; mulutnya menyeringai memamerkan taring yang runcing; kuku-kukunya siap mencakar.

Serangan tiga kalong bagi Dinar tidak ada artinya. Memang kelelawar itu sebesar kucing, namun hanya dengan menggerakkan tangan kiri dilambari tenaga dalam, Dinar berhasil tiga kali menampar telak membuat binatang itu mencelat menabrak dinding pondok.Seolah tak merasakan sakit, tiga kalong itu menyerang semakin beringas.

Ehhhh,” Dinar terperangah.

Tamparan tadi mampu memecahkan kepala kerbau dan batu kali. Rombongan kelelawar itu hanya terkejut dan sama sekali tidak terluka? Wiku Suragati terkekeh-kekeh dan mengimbangi serangan hewan peliharaannya itu dengan menusukkan toya.

Hmmmm.” Dinar lega. Menilik gerakan tongkat butut itu wiku renta ini tidak tangkas, sungguhpun tenaganya kuat. Mengertilah ia betapapun saktinya kakek ini tapi dalam kanuragan tidak setangguh Suradipa. Wiku Suragati hanya mengandalkan ilmu hitam dan tenaga mukjizat. Dinar dengan mudah mengelak mundur, merendahkan tubuh membiarkan tiga ekor kalong lewat di atas kepalanya, kemudian dengan aji Bayu Bajra tubuhnya ringan melompat ke depan secepat rajawali, dan tangan kanan yang dilambari ajian Lebur Seketi dihantamkan ke toraks sang wiku.

Dessssss!”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

AS Mengaku Belum Mendapat Tanggapan Hamas Soal Usulan Gencatan Senjata di Gaza

News
| Jum'at, 03 Mei 2024, 06:47 WIB

Advertisement

alt

Peringati Hari Pendidikan Nasional dengan Mengunjungi Museum Dewantara Kirti Griya Tamansiswa di Jogja

Wisata
| Rabu, 01 Mei 2024, 14:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement