Advertisement

27 Persen Perempuan Mengalami Depresi Seusai Melahirkan

Anisatul Umah
Sabtu, 11 Oktober 2025 - 18:47 WIB
Sunartono
27 Persen Perempuan Mengalami Depresi Seusai Melahirkan Ilustrasi perempuan tidak bahagia / Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Data dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023 menyebut 32% ibu hamil mengalami depresi dan 27% mengalami depresi pasca melahirkan. Konselor Klinik First Care sekaligus Psikolog Keluarga, Lieke Puspasari mengatakan emosi yang tidak stabil perlu diwaspadai seperti sedih berkepanjangan, tidak bisa bonding dengan anak, hingga emosi yang tidak stabil. Sebab ini bisa berimbas pada mencelakai diri sendiri, bahkan bayi.

Ia menjelaskan gejala depresi pasca melahirkan yang paling sering ditemukan adalah baby blues. Biasanya muncul 2-3 hari setelah melahirkan, bisa berlangsung 1-2 pekan Gejala yang muncul di antaranya cemas, suasana hati buruk dan cepat berubah, menangis, dan susah tidur,

Advertisement

Menurutnya hampir 70% ibu mengalami baby blues setelah melahirkan, di mana penyebabnya merupakan kombinasi faktor fisik dan emosional. Kadar hormon estrogen dan progesteron yang menurun secara drastis memicu perubahan suasana hati secara tiba-tiba.

Oleh karena itu suami perlu memberikan perhatian yang seimbang untuk istri dan bayinya. Baby blues menurutnya bisa ditekan dengan bertukar pikiran dengan pasangan atau dengan sesama ibu sehingga memperoleh dukungan secara emosional.

"Terutama menghadirkan kenyamanan bagi ibu saat harus intens merawat bayi," ujarnya.

Bentuk depresi lainnya yang mungkin dialami oleh ibu baru melahirkan adalah postpartum depression, dengan tingkat kecemasan yang lebih kuat dari baby blues. Ini mungkin terjadi pasca kelahiran selanjutnya. Sang ayah disarankan berkonsultasi dengan ahli kesehatan mental seperti konselor, psikolog, dan psikiater.

Selain itu, ibu juga perlu konsultasi dengan dokter obgyn untuk mengidentifikasi gejala depresi serta melakukan perawatan. Menurutnya bentuk ketiga dari depresi pasca-melahirkan disebut psikosis postpartum, kondisi psikologis ini memiliki gejala lebih buruk dari postpartum depression dan masuk kategori gangguan mental serius. Bisa dialami pasien hingga 3 bulan pertama pasca melahirkan.

Gejala umum dari kasus psikosis postpartum seperti halusinasi, perubahan mood ekstrem, mood manic, bingung, curiga dan takut, delusi, menjadi agresif, paranoid. "Hingga berencana untuk menyakiti diri sendiri maupun bayi," ucapnya.

Seorang ibu butuh support system yang tepat. Ketika terjadi gejala depresi postpartum, keluarga dan pasangan perlu segera memberikan perawatan pada ibu. Dukungan pasangan sejak awal kehamilan sangat penting, sehingga mengurangi stress pada ibu.

Selama periode ini, kesehatan mental ibu sangat penting untuk diperhatikan karena kesehatan fisiknya masih dalam masa pemulihan. Dan berkaitan erat dengan kesehatan fisik bayi yang dirawatnya.

Kesejahteraan ibu berpengaruh pada kondisi anak, khususnya terkait dengan pembentukan kelekatan emosional antara ibu dan anak di periode 1.000 hari pertama kehidupan. Kondisi psikologis yang baik membuat ibu lebih stabil dalam membentuk kelekatan dengan anak.

Lieke menyampaikan 1.000 hari pertama merupakan periode kritis dalam perkembangan anak. Di masa ini otak dan sistem saraf bayi berkembang pesat. Pengalaman di awal ini punya dampak signifikan pada kesehatan mental, fisik, dan emosional masa depan.

Kelekatan anak dan ibu menjadi yang paling penting dibandingkan dengan anggota keluarga lain. Anak usia 0-2 tahun butuh attachment. "Ketika anak sering ditinggal dan lebih banyak dengan pengasuh, pasti pada suatu hari dia akan mencari pengasuh bukan ibunya," ungkapnya.

Usia Ibu dan Pendidikan Berpengaruh pada Depresi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya depresi pada ibu pasca melahirkan. Seperti usia ibu, tingkat pendidikan, jenis persalinan, pekerjaan, hingga riwayat paritas. Dilihat dari faktor usia rentang 20-30 tahun adalah masa yang optimal bagi ibu untuk merawat bayi.

Perempuan dengan usia 35 tahun biasanya menderita depresi dengan gejala penurunan energi dan mudah lelah. Ibu dengan rentang usia 40-44 tahu punya prevalensi depresi pasca melahirkan 3 kali lipat dibandingkan dengan ibu berusia 30-35 tahun.

Faktor pendidikan berdasarkan penelitian Tri Wurisastuti dari 1139 responden berpendidikan D1/perguruan tinggi, sebanyak 3,1% responden mengalami depresi pasca melahirkan. Responden dengan pendidikan SMP/SMA 5,4% dari 5131 responden dan 6,9%  mengalami  depresi  dari seluruh responden yang berpendidikan  rendah yakni tidak sekolah dan tamat SD. Menandakan semakin rendah pendidikan ibu, semakin tinggi persentase depresi setelah melahirkan.

Lalu faktor jenis persalinan, berdasarkan penelitian Ariyanti disebutkan ibu dengan persalinan bedah lebih berisiko mengalami depresi dibandingkan ibu yang melahirkan normal. Proses bedah butuh waktu pemulihan lebih lama pasca melahirkan.

Kemudian faktor pekerjaan ibu, berdasarkan penelitian Ariyanti tahun 2016 diperoleh data bahwa pekerjaan punya pengaruh signifikan pada risiko depresi, peluang risikonya 2,411 kali lebih besar dari ibu yang tidak bekerja.

Dan terakhir riwayat paritas kelahiran anak pertama, baik yang sangat diinginkan dan terencana tetap mengganggu kondisi psikologis ibu, sebab belum siap dengan perubahan peran serta melahirkan anak pertama.

Depresi pasca melahirkan punya dampak negatif yang signifikan pada ibu dan bayi. Seperti berkurangnya minat dan ketertarikan ibu pada bayinya. Ini bisa menyebabkan respon kurang positif pada kebutuhan bayi, misalnya saat bayi menangis.

Bisa saja ibu memberikan tatap kosong dan gestur tubuh tidak responsif. Sehingga perawatan kepada bayi tidak optimal. Termasuk menjadi malas dalam memberikan ASI secara langsung.

Kasus yang paling parah bisa berkembang menjadi psikologis pasca melahirkan, ibu mengalami gangguan psikiatri serius dan berisiko membahayakan bayi bahkan sampai membunuh. Ini kondisi yang sangat serius dan perlu segera ditangani medis.

Kemudian penelitian terbaru menunjukkan ibu dengan depresi pasca melahirkan bisa mengalami gangguan dengan bayinya. Bisa berdampak jangka panjang pada perkembangan emosional, sosial, dan kognitif anak. Deteksi dini dan intervensi sangat penting untuk mengurangi risiko dan memastikan kesejahteraan ibu dan anak.

Cerita Salah Satu Penyintas

Nur Yanayirah kehilangan bayinya yang lahir mati di usia kehamilan 28 minggu pada 2011. Dunianya seperti runtuh. Ia marah pada diri sendiri, kepada Tuhan, kepada suami, dan tenaga kesehatan. Perempuan yang biasa dipanggil Yana ini melalui proses persalinan selama tiga hari, tiga malam, untuk bayi yang jantungnya tak lagi berdetak, menguras fisik dan mentalnya.

Berbulan-bulan setelahnya dia susah tidur, tidak semangat menjalani hidup, hingga berhalusinasi."Saya seperti mendengar suara bayi di mana-mana. Melihat guling atau bantal itu seperti melihat bayi," ujarnya.

Tiga bulan setelah anak pertamanya tiada, dia hamil lagi dengan kehamilan berisiko tinggi. Perempuan berusia 38 tahun ini harus tirah baring total selama 9 bulan. Selama ini pula dia berbegelut dengan pikiran-pikiran negatif. Bagaimana jika bayinya ini juga meninggal dunia? Apakah ia ibu yang gagal karena tak bisa mempertahankan bayi dalam kandungannya?

"Setelah bayinya lahir, saya merasa tidak ada ikatan batin yang kuat dengan dia," kata Yana.

Pikiran yang mengganggu mulai memasuki pikirannya, merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Ia merasakan dorongan yang kuat untuk mengakhiri hidup bahkan menyakiti bayinya.

"Bagaimana kalau misalnya saya banting bayi ini ke tembok, mungkin beban ini akan hilang. Atau bagaimana kalau saya 'pergi' saja, mungkin bayi ini akan dirawat oleh orang yang lebih menyayangi dia dengan sepenuh hati."

Ia berusaha rajin ibadah memperbanyak doa, namun tak lantas membuatnya keluar dari keterpurukan. Setiap pagi dia bangun dan merasa tidak ada harapan. Layaknya berada di dalam ruang yang gelap dan dalam.

Saat itu dia mengalami Depresi Pasca Melahirkan (postpartum depression—PPD) dan Gangguan Stres Pasca Trauma (post traumatic stress disorder—PTSD) tanpa disadari. Traumanya melahirkan bayi yang meninggal belum teratasi, dan menjadi depresi saat melahirkan anak kedua.

Baru diketahui setelah bayinya berumur 9 bulan. Saat itu dia berupaya bunuh diri bersama bayinya, beruntung masih berhasil ditolong seseorang. Bersama suaminya akhirnya memutuskan mencari pertolongan profesional dengan berkonsultasi pada psikiater.

"Saat saya mendekap bayi 9 bulan itu, menyentuh kulitnya, mencium baunya, dia melihat mata saya. Dan meski saat itu saya belum punya ikatan dengannya, buat dia, saya ibu sempurna," ucapnya.

Saat itu dia merasa harus sembuh demi bayinya. Selama 9 bulan dia mengaku menderita sendiri. Tidak ada yang paham dan memberi informasi. Ketika sembuh ia mencoba menyediakan dukungan yang sebelumnya tidak dia dapatkan.

Di tahun 2015 dia mendirikan MotherHope Indonesia, sebuah komunitas yang bertujuan memberikan kesadaran tentang kesehatan mental perinatal, serta memberi dukungan untuk pada ibu dan keluarga.

Kini MotherHope Indonesia sudah punya 200 relawan terlatih, mengadakan berbagai sesi kelompok dukungan dan kelas masak untuk ayah. Anggotanya mencapai 58.500 orang yang tersebar di 100 kota dan 59 negara di Facebook.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Fenomena Mendadak Sembuh Sebelum Meninggal, Ini Penjelasannya

Fenomena Mendadak Sembuh Sebelum Meninggal, Ini Penjelasannya

News
| Sabtu, 11 Oktober 2025, 23:27 WIB

Advertisement

Jembatan Kaca Tinjomoyo Resmi Dibuka, Ini Harga Tiketnya

Jembatan Kaca Tinjomoyo Resmi Dibuka, Ini Harga Tiketnya

Wisata
| Minggu, 05 Oktober 2025, 20:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement