Advertisement

Tidak Selalu Sakit Fisik, Bisa Jadi Kamu Somatis

Sirojul Khafid
Selasa, 18 Februari 2025 - 12:47 WIB
Sunartono
Tidak Selalu Sakit Fisik, Bisa Jadi Kamu Somatis Ilustrasi melamun. - JIBI

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Dalam banyak kondisi, kita mungkin merasakan sakit fisik. Namun saat mendapat pemeriksaan  medis, ternyata tidak ada indikasi sakit fisik. Bisa jadi itu gejala somatis.

Dokter di Rumah Sakit Siloam, Anastasia Ratnawati Biromo, mengatakan gangguan somatisasi atau somatic symptom disorder (SSD) merupakan kondisi yang terjadi ketika seseorang mengeluhkan gejala-gejala fisik, namun tidak ditemukan adanya penyakit tertentu saat dilakukan pemeriksaan fisik maupun penunjang. 

Advertisement

Pada dasarnya, gangguan somatisasi adalah kondisi medis yang dipicu oleh gangguan kesehatan mental. SSD merupakan kondisi psikologis yang dapat dialami oleh berbagai kalangan usia, namun lebih sering terjadi pada perempuan berusia di bawah 30 tahun. Meski tidak berbahaya, SSD tetap memerlukan penanganan yang tepat agar tidak memengaruhi kualitas hidup penderitanya

Penyebab gangguan somatisasi belum diketahui secara pasti. "Namun dipikirkan bahwa gangguan ini muncul akibat kewaspadaan berlebihan terhadap sensasi-sensasi fisik di tubuh yang salah diinterpretasikan penderitanya sebagai sebuah penyakit," katanya, beberapa waktu lalu.

Ada pula sejumlah faktor lain yang diduga bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami SSD. Pertama faktor genetik. Seseorang bisa mengalami kejadian traumatis, seperti menjadi korban pelecehan seksual atau kekerasan fisik. Faktor lainnya bisa berupa riwayat keluarga yang sering menderita penyakit,  stres atau depresi, penggunaan atau penyalahgunaan NAPZA, hingga memiliki riwayat gangguan cemas.

Berdasarkan gejalanya, gangguan somatisasi dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu hipokondriasis, gangguan konversi, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan nyeri psikogenik. Hipokondriasis merupakan jenis SSD yang ditandai oleh rasa takut dan cemas berlebihan bahwa keluhan fisik yang dirasanya merupakan gejala dari satu penyakit tertentu. Misalnya, ketika merasa sakit perut ringan, pengidap SSD akan merasa cemas berlebih bahwa ia mengidap kanker lambung.

"Gangguan konversi merupakan kondisi ketika seseorang mengeluhkan gejala yang memengaruhi sistem saraf, seperti kejang, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, mati rasa, hingga lumpuh. Namun, saat dilakukan pemeriksaan fisik lebih lanjut, dokter tidak menemukan penyebab medis dari kondisi tersebut," katanya.

Gangguan dismorfik tubuh adalah kondisi psikologis ketika seseorang merasa sangat khawatir dengan penampilan fisiknya. Misalnya, pengidap kondisi ini akan merasa bentuk wajahnya tidak normal dan berbeda dengan orang lain. Gangguan nyeri psikogenik merupakan jenis SSD yang ditandai dengan keluhan rasa sakit atau nyeri pada tubuhnya secara terus-menerus namun tidak ditemukan penyebab rasa sakit yang dikeluhkan penderita pada saat pemeriksaan medis.

Untuk menangani SSD, perlu adanya pemeriksaan psikologis. Nantinya psikolog akan memberikan rekomendasi penanganan yang lebih detail, apakah perlu terapi, obat, atau lainnya.

Prevalensi Capai Tujuh Persen

Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa kurang lebih 10-15% dari populasi manusia umum mengalami gejala somatisasi yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Di Indonesia, prevalensi gangguan somatisasi diperkirakan mencapai 5-7% dari populasi, dengan banyak kasus yang tidak terdiagnosis atau salah didiagnosis. 

Hal tersebut terangkum dalam penelitian Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Gangguan Somatisasi Menggunakan Metode K-Nearest Neighbors (KNN) karya Rima Ruktiari Ismail dan kawan kawan. Secara garis umum, gangguan somatisasi merupakan salah satu jenis gangguan mental di mana individu mengalami berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis, seringkali berkaitan dengan stres atau kondisi psikologis.

Gejala-gejala ini sering kali menyerupai penyakit fisik, seperti nyeri, kelelahan, atau gangguan pencernaan, tanpa adanya penyebab medis yang jelas. Pasien gangguan somatisasi sering kali menjalani berbagai pemeriksaan medis yang invasif dan mahal tanpa menemukan penyebab yang jelas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan stres tambahan bagi pasien serta beban finansial bagi sistem kesehatan.

"Kondisi ini menciptakan tantangan signifikan dalam diagnosis dan pengelolaan kesehatan, mengingat ketidakpastian diagnosis sering kali mengarah pada penanganan medis yang tidak efektif, serta meningkatkan beban pada sistem kesehatan," tulis dalam laporannya.

Dampak dari ketidakjelasan diagnosis ini tidak hanya merugikan pasien secara individu, tetapi juga menimbulkan beban ekonomi yang signifikan karena biaya medis yang tidak perlu. Dalam konteks akademik, masalah ini menarik perhatian karena kompleksitas diagnosis yang melibatkan interaksi antara aspek psikologis dan fisik, menuntut pendekatan diagnostik yang lebih canggih. 

Secara praktis, peningkatan alat bantu diagnostik yang lebih akurat dan efisien sangat dibutuhkan untuk mengurangi kesalahan diagnosis dan meningkatkan efektivitas perawatan. Permasalahan dalam mendiagnosa gangguan somatisasi sering kali disebabkan oleh kompleksitas gejala yang tidak spesifik dan adanya kesamaan gejala dengan penyakit fisik lainnya. 

"Hal ini membuat tenaga medis sering kali mengalami kesulitan dalam menentukan diagnosis yang tepat, yang pada gilirannya dapat menyebabkan penanganan yang tidak efektif. Selain itu, kurangnya alat bantu diagnostik yang spesifik untuk gangguan somatisasi juga menjadi salah satu hambatan dalam proses diagnosis," tulisnya.

Dalam konteks ini, penggunaan teknologi informasi dan sistem pakar menjadi sangat relevan. Meniru keahlian manusia dalam memecahkan masalah spesifik, sistem pakar merupakan program komputer yang dirancang untuk memberikan solusi layaknya seorang ahli. Untuk mengembangkan sistem pakar, diperlukan metode khusus yang digunakan sebagai mesin inferensi, yang berfungsi untuk memproses informasi dari basis pengetahuan dan menerapkannya pada situasi spesifik pengguna.

Mendekatkan Psikolog dengan Masyarakat

Somatis secara umum bisa masuk dalam gangguan psikologis. Tingginya angka prevalensi gangguan psikologis, tidak sebanding dengan jumlah tenaga profesional kesehatan mental di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan adanya treatment gap atau kesenjangan dalam pelayanan kesehatan mental. 

Akibatnya, banyak orang dengan gangguan psikologis yang tidak tertangani atau mendapatkan layanan kesehatan mental yang dibutuhkan. Menurut laporan CPMH Fakultas Psikologi UGM, untuk menangani permasalahan tersebut, salah satu upaya yang dilakukan adalah memasukkan layanan kesehatan mental ke dalam pelayanan primer atau yang dikenal dengan sebutan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Di DIY, Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Dinas Kesehatan sejak tahun 2004 mengembangkan program penempatan psikolog di puskesmas dengan tiga kegiatan pokok, yaitu prevensi dan promotif (pencegahan dan penyuluhan), pemulihan dan pelayanan (kuratif) dan rehabilitasi penyandang gangguan disabilitas psikososial. 

"Adanya psikolog di puskesmas dapat memudahkan akses layanan kesehatan mental bagi masyarakat. Dengan demikian, puskesmas kini tidak hanya menjadi rujukan pertama bagi seseorang dengan keluhan kesehatan fisik namun juga keluhan kesehatan mental," tulis dalam laporan tersebut.

Program penempatan psikolog di puskesmas dinilai efektif dalam mewujudkan masyarakat yang memiliki kesadaran akan kesehatan mental. Keberadaan psikolog puskesmas di Kabupaten Sleman mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa dan memberikan promosi, serta edukasi mengenai hidup sehat dengan menjaga kesehatan mental. 

Psikolog puskesmas dapat memberikan edukasi mengenai kesehatan mental sebagai upaya preventif terhadap munculnya masalah kesehatan mental di masyarakat. Dari pengalaman beberapa psikolog di puskesmas, awalnya profesi psikolog tidak langsung diterima oleh masyarakat. 

Masih banyak masyarakat yang menolak dan beranggapan bahwa ke psikolog sama dengan 'gila' atau 'kurang waras'. Hal ini menunjukkan masih tingginya stigma negatif masyarakat tentang kesehatan mental. "Keberadaan psikolog di puskesmas berperan besar dalam menghilangkan stigma tersebut di masyarakat sehingga semakin banyak orang dengan masalah kesehatan mental yang mendapatkan layanan kesehatan mental yang dibutuhkan," tulisnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Hasto Kristiyanto Pakai Rompi Oranye KPK, Ini Lokasi Penahanannya

News
| Kamis, 20 Februari 2025, 19:57 WIB

Advertisement

alt

Menyelami Hubungan Manusia dengan Alam lewat Lukisan, Garrya Bianti Hadirkan Pameran Back to Nature

Wisata
| Senin, 17 Februari 2025, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement