Advertisement

Promo Desember

Perempuan Lajang Lebih Bahagia dari Laki-Laki Lajang

Sirojul Khafid
Sabtu, 21 Desember 2024 - 10:17 WIB
Sunartono
Perempuan Lajang Lebih Bahagia dari Laki-Laki Lajang Ilustrasi perempuan tidak bahagia / Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Peneliti sebut perempuan yang lajang berpotensi lebih bahagia daripada saat laki-laki yang melajang. Dalam studi psikologi terbaru dari Universitas Toronto, para peneliti menemukan bahwa laki-laki mungkin memiliki lebih banyak keuntungan daripada perempuan dalam hubungan romantis heteronormatif.

Penulis utama dan kandidat PhD di Departemen Psikologi di Fakultas Seni & Sains Universitas Toronto, Elaine Hoan, mengatakan penelitian mereka merupakan studi komprehensif pertama tentang bagaimana perbedaan gender dikaitkan dengan kesejahteraan dalam kehidupan lajang.

Advertisement

“Dari sini, kita dapat mulai memahami mengapa perempuan lajang lebih bahagia daripada pria lajang, dan bagaimana setiap orang dapat menyeimbangkan elemen-elemen ini untuk membangun kehidupan terbaik mereka,” katanya.

Dalam penelitian ini, Hoan dan profesor Departemen Psikologi Universitas Toronto, Geoff MacDonald, meneliti empat hasil kesejahteraan dari hampir 6.000 orang dewasa, yaitu tentang seberapa puas orang dengan status hubungan mereka saat ini, seberapa puas mereka dengan kehidupan mereka, seberapa terpenuhinya mereka secara seksual, dan seberapa besar keinginan mereka untuk menjalin hubungan. Penelitian ini terbatas pada ukuran sampel dengan individu non-biner, sehingga fokus pada gender laki-laki atau perempuan.

Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa perempuan lebih bahagia saat melajang daripada laki-laki. Mereka lebih bahagia dengan status lajang mereka, kualitas hidup mereka, kualitas kehidupan seks mereka, dan mereka kurang menginginkan pasangan. Hoan mengatakan hasil ini dibangun berdasarkan penelitian yang ada, yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih takut melajang daripada perempuan. Laki-laki juga perlu berjuang untuk menavigasi harapan maskulinitas tradisional.

“Ada anggapan bahwa untuk benar-benar 'menjadi laki-laki', Anda harus menjadi tipe yang 'mendapatkan perempuan', itu adalah tanda status. Namun pada tahap awal berpacaran, laki-laki biasanya mengalami kesulitan lebih besar untuk mendapatkan pasangan dan karena itu mengakses seks,” kata Hoan.

Hal ini berhubungan dengan temuan bahwa perempuan lajang lebih puas secara seksual dibandingkan laki-laki lajang. Hal ini diprediksi lantaran perempuan memiliki lebih banyak kebebasan seksual. Mereka juga dapat fokus pada kesenangan mereka sendiri, alih-alih memprioritaskan kesenangan pasangan laki-laki.

Di samping itu, para penulis mengamati usia dan etnis dalam konteks gender. Mereka menemukan bahwa laki-laki lajang yang lebih tua lebih bahagia daripada laki-laki lajang yang lebih muda. Laki-laki cenderung lebih bahagia dengan masa lajang jangka panjang mereka setelah usia 40 tahun. Mereka juga mencatat bahwa perempuan kulit hitam lajang memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk memiliki pasangan daripada perempuan kulit putih lajang.

Hoan mengatakan penelitian ini berfungsi sebagai titik awal untuk mengontekstualisasikan incel atau istilah untuk ekstremis yang membenci perempuan karena kesendirian mereka. Incel sering dipelajari sebagai subkultur misoginis yang terisolasi dengan masalah yang unik, ketidakbahagiaan secara keseluruhan pada laki-laki lajang dapat menyebabkan beberapa laki-laki memisahkan diri dan bergabung dengan kelompok ini.

Meskipun makalah ini tidak memberikan bukti langsung mengapa kesendirian merupakan pengalaman yang lebih baik bagi perempuan dibandingkan dengan hubungan romantis, penelitian ini menunjukkan alasan potensial untuk penyelidikan lebih lanjut.

"Misalnya, kita tahu dari penelitian yang ada bahwa dalam struktur hubungan heteronormatif, perempuan biasanya mengambil lebih banyak dari bagian yang seharusnya dalam pekerjaan rumah tangga dan emosional," kata Hoan. "Selain itu, kenikmatan seksual mereka cenderung dikesampingkan dan berpotensi berkurang sebagai akibat dari pembagian kerja yang tidak adil."

Hoan mencatat bahwa perempuan mungkin lebih puas dengan kehidupan lajang mereka secara keseluruhan, karena mereka biasanya memiliki jaringan sosial yang lebih besar untuk diandalkan sebagai sumber dukungan. Mereka juga memiliki kemandirian finansial, yang berarti pendapatan sebagai keuntungan tradisional dari kemitraan tidak sepenting dulu.

Hoan dan MacDonald juga meneliti hubungan antara pernikahan dan kesejahteraan di seluruh dunia. Penelitian mereka terus menjelaskan sejauh mana hubungan romantis berkontribusi pada pemenuhan hidup, baik bagi yang menjalaninya atau tidak.

“Bagi perempuan lajang, lebih dari siapapun, tekanan masyarakat untuk berpasangan mungkin menyulitkan mereka yang tidak ingin langsung menjalin hubungan, tetapi merasa harus melakukannya,” kata Hoan. “Studi kami memvalidasi pengalaman itu, jika Anda ingin tetap melajang, Anda mungkin lebih bahagia karenanya.”

 

Puluhan Ribu Perempuan Indonesia Memilih Childfree

Sebanyak 71 ribu perempuan Indonesia tidak ingin memiliki anak atau childfree. Para perempuan berusia 15-49 tahun memiliki banyak pertimbangan atas keputusannya tersebut.

Data tersebut berasal dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 berjudul "Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia". Dalam laporannya, BPS menganalisis fenomena childfree di Indonesia dari sisi maternal menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Perempuan berusia 15-49 tahun (usia subur) yang pernah kawin namun belum pernah melahirkan anak serta tidak menggunakan KB jadi fokus dalam survei ini. Hasil analisis mengungkapkan sekitar 8% atau sekitar 71 ribu perempuan memilih childfree.

Secara umum, childfree berarti individu dewasa atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui proses adopsi. Pilihan hidup childfree tidak berkaitan dengan fertilitas seseorang, namun murni karena pilihan untuk tidak memiliki anak. "Banyak masyarakat childfree yang beranggapan bahwa ada harga mahal yang harus dibayar serta banyak aspek sosial, ekonomi, bahkan psikologi yang harus dikorbankan dalam parenting," tulis dalam laporan, dikutip Rabu (13/11/2024).

Adapun prevalensi childfree juga meningkat selama empat tahun terakhir. Data SUSENAS menunjukkan prevalensi childfree pada tahun 2019 sebesar 7%. Angka tersebut sempat menurun pada tahun 2020 menjadi 6,3 persen dan kemudian meningkat pada tahun 2021 menjadi 6,5%. Angka tersebut kemudian melonjak pada tahun 2022 pada 8,2%.

"Melihat persentase perempuan childfree dalam empat tahun terakhir yang cenderung naik, prevalensi perempuan yang tidak ingin memiliki anak kemungkinan juga akan meningkat di tahun berikutnya," tulisnya.

Persentase childfree sebenarnya sempat menurun pada tahun 2020. Penurunan diduga terjadi akibat pandemi Covid-19, saat kebijakan work from home (WFH) ditengarai cukup memengaruhi keputusan seseorang untuk memiliki anak. Fenomena childfree di Indonesia juga ditengarai berpengaruh terhadap penurunan angka kelahiran atau total fertility rate (TFR). Sejak 1971 silam, hasil Sensus Penduduk menunjukkan bahwa TFR Indonesia terus menurun.

"Dengan tren kenaikan yang ada, fenomena childfree memang berkontribusi signifikan terhadap penurunan TFR di Indonesia," tulis dalam laporan tersebut.

Tren penurunan TFR menjadi fenomena global yang terjadi hampir di semua negara. Semakin ke sini, semakin sedikit anak yang dilahirkan. Tren penurunan TFR juga mengindikasikan banyaknya perempuan yang menunda atau memilih untuk tidak memiliki anak.

Perempuan Mandiri Semakin Tinggi

Persentase perempuan mandiri di Indonesia yang semakin tinggi, dianggap menjadi penyebab tingkat pernikahan yang menurun. Pada 2023, pernikahan di Indonesia mencapai 1,6 juta pasangan. Angka ini turun sekitar 128.000 pernikahan dibandingkan 2022. Data tersebut berasal dari perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS).

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, beranggapan jumlah perempuan mandiri yang meningkat menjadi salah satu alasannya. Data BPS 2024 menunjukkan angka pernikahan di Jakarta turun 4.000, Jawa Barat 29.000, Jawa Tengah 21.000, dan Jawa Timur sekitar 13.000. Secara keseluruhan di Indonesia, jumlah perkawinan turun 28,63% dalam 10 tahun terakhir.

Semakin terbukanya peluang para perempuan dalam mengembangkan diri, menjadi salah satu penyebab penurunan angka pernikahan. “Angka itu turun karena kesempatan perempuan untuk bersekolah dan bekerja semakin terbuka lebar. Ketergantungan perempuan juga menurun,” kata Bagong.

Sebagai gambaran, berikut persentase perempuan dan laki-laki dalam angkatan kerja formal berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS:

Tahun

Laki-Laki

Perempuan

2015

44,89%

37,78%

2016

45,05%

38,16%

2017

45,66%

38,63%

2018

46,1%

38,1%

2019

47,19%

39,19%

2020

42,71%

34,65%

2021

43,39%

36,2%

2022

43,97%

35,57%

2023

44,19%

35,57%

Data di atas menunjukkan jumlah perempuan pekerja formal masih di bawah laki-laki. Namun angka perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional hampir menyamai jumlah laki-laki. Angka persentase perempuan sebagai tenaga profesional menurut data BPS yaitu 2010 (44,02%), 2011 (45,75%), 2012 (45,22%), 2013 (44,82%), 2014 (45,61%), 2015 (46,03%), 2016 (47,59%), 2017 (46,31%), 2018 (47,02%) 2019 (47,46%), 2020 (48,76%), 2021 (49,99%), 2022 (48,65%), dan 2023 (49,53%).

Di samping itu, jumlah laki-laki dengan kondisi ekonomi mapan yang tidak banyak menjadi faktor lain penurunan angka pernikahan. Saat ini, mencari pekerjaan dianggap semakin sulit. Fenomena angka penurunan pernikahan karena jumlah perempuan yang mandiri meningkat merupakan hal yang wajar terjadi. “Ini konsekuensi yang tidak terhindarkan,” kata Bagong. 

Penurunan angka pernikahan dalam waktu yang lama berpotensi menurunkan angka kelahiran. Menurut Bagong, menurunnya angka pernikahan wajar, dan tidak ada yang harus diperbaiki. Namun yang penting memastikan hal ini berdampak positif untuk memberdayakan perempuan dan masyarakat. “Menurunnya angka pernikahan harus beriringan dengan meningkatnya modal sosial masyarakat,” katanya.

 Sumber:

https://www.psych.utoronto.ca/news/new-study-finds-single-women-are-happier-single-men

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20230605160813-284-957861/71-ribu-perempuan-usia-subur-di-indonesia-memilih-childfree.

https://www.antaranews.com/berita/4469701/bkkbn-pertimbangkan-tanggung-jawab-sosial-sebelum-pilih-childfree

https://www.antaranews.com/berita/4473253/ini-dampak-yang-harus-diketahui-jika-pasangan-memutuskan-childfree?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=top_news

https://katadata.co.id/berita/nasional/671ca4703017e/angka-pernikahan-di-indonesia-turun-wanita-mandiri-banyak-pria-mapan-sedikit

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Kemenpar Bukukan Potensi Nilai Devisa Rp25,4 Triliun Sepanjang Pemasaran 2024

News
| Sabtu, 21 Desember 2024, 13:37 WIB

Advertisement

alt

Mulai 1 Januari 2025 Semua Jalur Pendakian Gunung Rinjani Ditutup

Wisata
| Sabtu, 21 Desember 2024, 10:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement