Advertisement

Uang Kerap Jadi Pereda Emosi, Psikolog Ungkap Dampaknya

Newswire
Selasa, 02 Desember 2025 - 16:27 WIB
Maya Herawati
Uang Kerap Jadi Pereda Emosi, Psikolog Ungkap Dampaknya Foto ilustrasi uang / Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Psikolog klinis Olphi Disya Arinda menjelaskan bahwa uang kerap digunakan sebagai alat regulasi emosi, ketika seseorang menjadikan pengeluaran finansial sebagai cara meredakan tekanan psikologis.

Psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia Olphi Disya Arinda, M.Psi., Psikolog mengungkapkan bahwa financial coping atau penggunaan uang sering digunakan sebagai alat untuk regulasi emosi.

Advertisement

“Banyak orang yang menggunakan financial coping. Jadi, uang itu bukan cuma alat tukar, bukan alat tukar antarbarang saja, tapi juga alat tukar emosi, yang tadinya sedih agar bisa jadi senang lagi,” kata Disya dalam diskusi temu media di Jakarta, Selasa (2/12/2025).

Disya menilai perilaku seperti belanja berlebih, mengambil pinjaman, atau menghamburkan uang dijadikan sebagai cara tidak langsung mengurangi stres, kesepian, atau rasa tidak berdaya, di mana ketika seseorang merasa tidak aman (insecure) atau ada bagian dari dirinya yang dirasa tidak puas sehingga mengeluarkan uang seolah memiliki kontrol atau kekuatan.

“Banyak orang juga yang mengeluarkan uang tidak pada tujuan yang tepat, sehingga bisa jadi ini ada latar belakang kondisi emosi yang bisa dibilang kurang sehat. Tanpa disadari, ini menciptakan pola yang namanya emotional spending atau emotional debt,” tutur dia.

Disya menjelaskan bahwa ketika emosi seseorang menjadi sulit untuk berpikir logis atau berpikir dengan cara yang cukup bijak lantaran area di bagian otak, yakni amigdala, yang berfungsi mengontrol emosi, terpicu menjadi lebih aktif.

Di sisi lain bagian otak, yakni prefrontal cortex, yang berfungsi untuk mengambil keputusan, pemecahan masalah, dan berpikir strategis, justru bekerja menjadi lebih lambat. Respons amigdala dinilainya seperti “sistem alarm” di otak yang membuat hormon kortisol meningkat sebagai tanda adanya ancaman.

“Otak logis kita itu jadi seolah redup, jadi kita enggak bisa melakukan perencanaan atau pengambilan keputusan yang bijak. Inilah yang membuat seseorang lebih cenderung impulsif, menghindar kalau ada masalah, atau mengambil keputusan jangka pendek,” ujar psikolog yang juga berpraktik di Mayapada Medical Center Kuningan Jakarta itu.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

PBNU Bantah Isu Dana, Tegaskan Kerja Sama Resmi dengan CSCV

PBNU Bantah Isu Dana, Tegaskan Kerja Sama Resmi dengan CSCV

News
| Selasa, 02 Desember 2025, 16:57 WIB

Advertisement

KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona

KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona

Wisata
| Minggu, 30 November 2025, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement