Advertisement

Ngobrol Bareng Sutradara Yandy Laurens: Adaptasi Film Sama Seperti Adopsi Anak

Sirojul Khafid
Minggu, 26 Januari 2025 - 19:47 WIB
Ujang Hasanudin
Ngobrol Bareng Sutradara Yandy Laurens: Adaptasi Film Sama Seperti Adopsi Anak Dari kanan ke kiri. Ringgo Agus Rahman, Chicco Kurniawan, Yandy Laurens saat berkunjung ke Kantor Harian Jogja, Jetis, Kota Jogja, Rabu (4/12/2024). - Harian Jogja - Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Akhir Desember 2024 lalu, di sela-sela Jogja-NETPAC Asian Film Festival, sutradara dan penulis naskah, Yandy Laurens, berkunjung ke Kantor Harian Jogja. Kala itu, dia sedang mengenalkan film terbarunya, berjudul 1 Kakak 7 Ponakan.

Karya yang sudah tayang sejak 23 Januari 2025 tersebut merupakan film panjang adaptasi sinetron, dengan judul sama, yang tayang pada tahun 1990-an karya Arswendo Atmowiloto. Film 1 Kakak 7 Ponakan menjadi karya kedua dari Arswendo yang Yandy adaptasi dari sinetron menjadi film panjang.

Advertisement

Film 1 Kakak 7 Ponakan bercerita tentang Moko (Chicco Kurniawan), mahasiswa arsitektur yang harus menjadi tulang punggung untuk keluarganya, terutama para keponakan. Dia harus menanggalkan mimpinya menjadi arsitek, saat kedua orang tuanya meninggal. Moko, anak muda yang sedang berjuang untuk dirinya sendiri, kini juga harus berjuang untuk keluarganya.

Bersama dengan Chicco Kurniawan dan Ringgo Agus Rahman, berikut obrolan mereka dengan Harian Jogja:

Pertanyaan: Udah nonton semua episode 1 Kakak 7 Ponakan?

Yandy:

Udah, file sinetron 1 Kakak 7 Ponakan yang masih bisa kami akses sekitar 60 episode.

Kalau dulu pas tayang di televisi sempet nonton?

Yandy:

Enggak sempet nonton dulu, di usiaku [yang dulu masih muda, itu tontonan yang] enggak menarik, lebih [seneng] nonton Dragon Ball dan lainnya.

Ada tantangan tertentu ngadaptasi sinetron yang pernah populer di zamannya?

Agus:

Ternyata banyak orang yang sudah sangat tahu, lagunya tahu, bahkan masa kecilnya dipenuhi dengan sinetron 1 Kakak 7 Ponakan, kami juga kaget.

BACA JUGA: Sinopsis dan Review Film Horor Baru, Wolf Man

Yandy:

Betul, sudah ada di hati para penonton.

Gimana caranya membuat cerita sinetron yang puluhan episode menjadi cerita panjang yang hanya beberapa jam?

Yandy:

Aku enggak pernah mengkerdilkan cerita, terjebak seperti yang menerjemahkan secara harfiah. Harusnya interpretasi, saya percaya kalau kami adopsi IP (intellectual property) orang, itu kaya adopsi anak.

Jadi selain diadopsi secara fisik dari panti asuhan ke tempat atau rumah kita, mental harus seperti anak kandungku. Sampai waktu take [gambar di produksi], kita sempet mikir adegan ini datang dari mana ya, owh ternyata dari episode ini, sampai lupa [asal muasalnya], nyerep aja, nulis aja.

Apakah ada beban mengadaptasi karya yang populer?

Yandy:

Justru reaksinya adalah, harusnya emang aku ada beban ya? Aku udah lupa karena terlalu terkesima sama ceritanya. Waktu anak sudah tumbuh dewasa, kita sampai lupa kalau anak ini adopsi.

Kenapa memilih Chicco sebagai pemeran utamanya?

Yandy:

Ada intuisi, scene-nya cocok, dia pernah main web series, yang ada adegan di balkon. Adegan cuma diem aja merenung, [terus mikir] kalau Moko diem pengen kaya gitu deh.

Akhirnya screen test, ngobrol enam jam sampai lupa, pas screen test amburadul. Terus cocok, Chicco orang yang bisa ngobrol apa aja.

Sebenarnya kaya dijalani bareng-bareng, sama sama bingung, sama sama nyari. Kadang kita lupa, kenapa Chicco juga mau milih aku? Di setiap film, pemain sadar untuk memilih, keduanya harusnya saling menginginkan. Bukan memperlakukan pemain seperti main film ini itu selesai mantap, tapi nyari kebingungan bersama.

Kalau dari Chicco kenapa memilih berkarya bareng Yandy?

Chicco:

Pertama dari ceritanya yang pengen kita sampaikan. Dari awal ngobrol, sebelum casting, ada meeting, aku dateng dalam keadaan pahit, karena ada ketidakpuasan dalam project sebelumnya, merasa gagal pada diri sendiri, mencoba ngasih tahu dari awal ke Yandy.

Aku juga setiap tahun secara pribadi nyari genre, lagi nyari drama keluarga, baru dapet di Mas Yandy. Diceritain enam jam itu, jadi perasaannya lebih besar ke Yandy-nya daripada ceritanya dulu, pengen deh berteman sama orang ini, kayaknya bakalan penuh perasaannya, yuk [bikin film bareng].

Pas baca berenam di rumahnya Agus, saya bacanya enggak abis, nangis enggak kuat, jahat dia. Sebelum ini jadi film, masih skrip, aku enggak ada alasan untuk enggak suka sama project dan cerita ini.

Ini cerita tentang sandwich generation, saat aku di posisi itu, aku enggak sadar itu berat, karena ada nilai yang bisa aku ubah jadi lebih baik. Alasan aku nangis, aku secara personal ini terjadi bertahap padaku, resolusi ceritanya. Banyak orang di sana mendedikasikan dirinya mencari uang di keluarga.

Apakah pernah berada dalam kondisi sandwich generation di dunia nyata?

Agus:

Kami bertiga sandwich generation semua. Label sandwich generation kesannya wah [berat banget]. Mungkin kebanyakan dari kita, ketika sudah bekerja, selamat datang di sandwich generation.

Sekarang kesannya konotatif, padahal memang ada anak yang pengen berbagi, melakukan itu bukan karena harus, dari dasar dirinya enggak peduli dengan label sandwich generation itu. Ada juga yang kadang merasa terbebani, akhirnya sandwich generation, cuma label atau proses hidup yang harus dijalani, kebanyakan di Indonesia seperti itu.

Mungkin di luar negeri udah hidup sendiri-sendiri, kebanyakan di sekitar kita [sandwich generation] jadi kaya proses hidup.

Dari sekian perspektif sandwich generation, dari buruk atau baiknya, film ini arahnya ke mana?

Yandy:

Obrolan tentang sandwich generation hari ini bergerak pada dua hal, financial education dan perbesar pemasukan. Pertanyaannya kalau itu emang solusi, kenapa ini terjadi ke semua lapisan masyarakat, mau yang gajinya Rp3 juta sampai Rp50 juta per bulan, itu sandwich generation juga, kapan kelarnya.

Financial education dan perbesar pemasukan itu penting dan enggak salah, tapi karena ini terjadi di semua lapisan masyarakat, berarti ada sesuatu yang terjadi setelah sandwich generation itu. Nah filmnya ngomongin sandwich generation di luar (financial education dan perbesar pemasukan) itu.

Chicco:

Kadang karena kita hubungannya sama keluarga, rasa sayangnya enggak diperjuangkan. Kadang sama orang di luar keluarga justru lebih sayang. Saat balik ke rumah ah gue udah capek. Setelah film ini, [aku sadar bahwa] rasa sayang ini pilihan, mau diperjuangin atau tidak.

Yandy:

Mencintai dengan sengaja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Indikator Politik: Kepuasan Publik Terhadap Kinerja Kabinet Merah Putih Capai 79,3 Persen

News
| Senin, 27 Januari 2025, 14:47 WIB

Advertisement

alt

Ini Rekomendasi Tempat Wisata untuk Solo Traveling di Luar Negeri

Wisata
| Sabtu, 25 Januari 2025, 15:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement