Advertisement

Komunitas Kahanane Project: Kenalkan Pengalaman Estetika Pada Anak-Anak

Sirojul Khafid
Sabtu, 18 Januari 2025 - 17:17 WIB
Sunartono
Komunitas Kahanane Project: Kenalkan Pengalaman Estetika Pada Anak-Anak Suasana Kahanane Project saat tampil. -Ist - Kahanane Project

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Anak berhak mendapatkan pengalaman seni yang kualitasnya sama, dengan pertunjukkan bagi orang dewasa. Kahanane Project mengangkat keresahan di dunia keluarga, untuk disajikan pada anak-anak.

Tahun 1999, Ricky Setiawan kuliah di Prodi Teknik Elektro Universitas Sanata Dharma (USD) Jogja. Namun jurusan itu ternyata kurang cocok, dan membuat Ricky pindah ke Prodi Psikologi USD pada tahun 2000. Di momen itu, dia bertemu dengan Tita Dian Wulansari, mahasiswi psikologi Angkatan 2002. Pertemuan itu perlahan membawa Ricky dan Tita menjalin cerita asmara.

Advertisement

Ricky sempat belajar teater di kampus. Memasuki 2007, Ricky dan Tita belajar ilmu keaktoran bersama di Teater Garasi. Mereka juga sempat mengabdi di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Ricky dan Tita lebih banyak bermain sebagai aktor teater, meski kadang kala mengurus hal teknis seperti artistik dan produksi lainnya. Tidak jarang mereka mendapat peran sebagai pasangan, baik sebagai pacar ataupun suami-istri.

BACA JUGA : Begini Solidaritas Para Penggebuk Drum di Jogja

Memasuki 2014, mereka menikah. Kali ini bukan sandiwara, namun benar-benar menjadi suami-istri. Di tahun yang sama, Tita keluar dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Dua tahun kemudian, giliran Ricky yang mentas dari tempat yang sama. Kelahiran anak pertama membuat urusan kesenian tidak bisa lagi berjalan beriringan dengan urusan domestik rumah tangga.

“Kami vakum lima tahun [berkesenian], dua tahun sebelum pandemi Covid-19 sempat pengen pentas lagi, eh malah pandemi,” kata Ricky, saat ditemui di rumahnya, Bantul, Sabtu (11/1/2025).

Keinginan untuk tampil menemukan ruangnya di Gulali Festival 2021. Festival daring tersebut inisiasi Papermoon Puppet Theatre dan Ayo Dongeng Indonesia itu mengkhususkan diri pada segmen anak-anak. “Gulali muncul dengan format baru dan bisa kami gunakan. Saat itu kami sedang sangat intens dengan anak-anak, ide karya pertama karena mereka, saat melihat mereka bermain dengan boneka dan peralatan dapur. Menarik, coba kami angkat,” kata Tita.

Muncullah karya cerita pertama berjudul Rumah Rakit. Ricky dan Tita bekerja sama dengan lima orang lainnya. Perlengkapan pentas menggunakan barang bekas. Pengambilan video juga di rumah. Kesenian dengan kondisi apa adanya (dalam bahasa Jawa diistilahkan kahanane) itu, yang mencetuskan nama Kahanane Project. Kahanane juga nama belakang dari anak kedua mereka. Kahanane Project terpilih sebagai peserta karantina Gulali Festival.

Mazhab yang Cocok

Rencana awal, Kahanane Project akan bubar setelah pertunjukkan pertama. Namun Ricky dan Tita justru menemukan mazhab kesenian yang cocok dengan mereka. Mengangkat isu keluarga, dengan segmen penonton anak serta orang tua cocok dengan kondisi mereka kala itu. Berbeda saat tampil dengan kelompok lain sebelumnya, di Kahanane Project, mereka bebas menentukan cerita, waktu, hingga keputusan artistik lainnya.

Kini, anggota tetap Kahanane Project yaitu Ricky, Tita, dan Anto (bagian desain dan video). Personil tambahan berasal dari dua anak Ricky dan Tita, yang kadang ikut bermain, kadang menjadi staf panggung, dan lainnya. “Kami bicara tentang hal-hal sederhana tentang keluarga, bahwa keluarga harus jadi sumber utama kebahagiaan dan kegembiraan. Misalnya untuk anak, jangan sampai anak merasa lebih gembira ketika tidak di rumah, lebih gembira ketika tidak bersama orang tuanya,” kata Ricky.

Cerita bermula dari keresahan personal yang Ricky dan Tita rasakan setiap harinya. Setelah itu ditambah referensi jurnal dan penelitian. Terlebih mereka lulusan psikologi, sehingga memadukan dengan ilmu tentang perkembangan manusia.

BACA JUGA : Serasi Jadi Upaya Meningkatkan Literasi Anak di Kampung Giwangan Jogja

Misalnya ada karya berjudul Teman, yang bercerita tentang aksara. Cerita itu bermula dari proses Tita mengajari anaknya membaca. “Waktu itu lihat ibu sedang berjuang ngajarin Saka, tapi setiap diajak belajar bilangnya males. Tita bikin macam-macam cara, misal kuis, permainan tebak-tebakan, semua dijadikan mainan, [sehingga belajar] rasanya kaya ngajak main,” kata Ricky, yang kini berusia 45 tahun.

Hak Sama Bagi Anak

Dalam mentoring di Gulali, Kahanane mendapat ilmu tentang prinsip berkesenian dengan segmen anak. Beberapa prinsipnya seperti pertunjukkan harus berpusat pada anak; anak bukan objek tapi subjek; pemahaman anak itu langsung dan lurus (tidak mengembangkan interpretasi yang bersayap); hingga menghindari bahasa yang ambigu. Di setiap cerita, Kahanane menggunakan bahasa baku dengan struktur Bahasa Indonesia yang benar.

Apabila ada kosa kata yang anak tidak tahu, justru bisa menjadi cara untuk belajar, serta ruang diskusi dengan orang tuanya. Pertunjukkan Kahanane berusaha tidak hanya bisa dinikmati anak, tapi juga orang tuanya. Saat anak menonton pertunjukkan, biasanya orang tua menemani, sehingga mereka juga perlu terhibur.

Akhir cerita pertunjukkan juga tidak harus bahagia. Cerita Wungu dari Kahanane berakhir dengan kisah yang sedih. “Itu realita kehidupan yang harus dihadapi anak-anak, perlu tau rasanya senang, sedih, marah, dan sebagainya. Responnya, beberapa anak dan orang tua nangis. Setelah pertunjukkan, ada orang tua yang kirim chat, bilang terima kasih karena sudah mengajari anak rasa sedih,” kata Tita, yang kini berusia 40 tahun.

Genre cerita bisa apa saja, namun Kahanane berusaha menampilkan kesenian yang berkualitas. Tidak mentang-mentang penontonnya anak, maka kualitas musik, properti, hingga cerita lebih rendah dari pertunjukkan untuk orang dewasa. Anak-anak juga punya hak menikmati pengalaman estetika yang maksimal.

Kahanane Project berharap ke depannya semakin banyak perhatian pada seni pertunjukkan anak. Mereka berharap para pelakunya juga benar-benar dari seniman yang mendedikasikan hidupnya pada seni anak. “Kesenian yang dihasilkan dari yang benar-bener seniman itu kualitasnya berbeda, bukan cuma asal gayeng hore-hore, bukan asal anak ketawa,” kata Ricky. “Semoga kami bisa jadi salah satu bagiannya,” kata Tita.

Seni Kunjung Kampung

Karya pertama Kahanane Project berjudul Ramah Rakit. Judul itu plesetan dari rumah sakit. Secara garis besar, Rumah Rakit bercerita tempat memperbaiki ‘penyakit’ fisik dan mental para karakternya.

Setelah tampil secara daring, Kahanane membawa Rumah Rakit pentas secara luring di acara Pesta Boneka. Ada penonton, ibu dan anak, yang merupakan teman Ricky dan Tita. Dia menggunakan taksi online dari Selopamioro, Imogiri, Bantul ke Kampung Media, Ngaglik, Sleman, lokasi Pesta Boneka. Si ayah tidak bisa mengantar, lantaran ada pekerjaan.

Ricky iseng mengecek, tarif taksi online penonton tersebut, yang ternyata berkisar Rp400.000 untuk pulang-pergi. “Peristiwa itu bikin mikir, sek, sek, terus anak-anak yang hidup di Sentolo, Wonosari, dan pinggiran DIY yang susah untuk ke pusat pertunjukkan yang banyak di tengah kota seperti apa? Kapan mereka dapat mengalami pengalaman seni selain jathilan dan dangdutan?,” kata Ricky.

Jathilan dan dangdutan tidak salah, namun Kahanane merasa anak perlu referensi dan variasi lain terkait pertunjukkan seni. Dari keresahan ini, Kahanane membawa Rumah Rakit ke kampung-kampung. Apabila biasanya orang berangkat dari rumah ke tempat pertunjukkan, kali ini Kahanane membawa panggung pertunjukkan ke rumah mereka di kampung.

BACA JUGA : Soal Perkembangan Sekolah Rakyat, Ini Kata Mensos RI

Selama dua tahun menjelajah dari kampung ke kampung, Kahanane pernah tampil di ragam tempat, dari teras rumah, garasi, pendopo, kafe, sekolah, hingga balai kelurahan. Semuanya gratis. Pengundang cukup menyediakan tempat dan penontonnya. Pengalaman ini membuat Kahanane sadar, belum semua anak pernah mendapatkan seni pertunjukkan, seperti yang mereka bawakan.

“Anak-anak terlihat senang, meski kadang terlihat bahwa ini hal baru bagi mereka, anak-anak terlihat bingung meresponnya,” kata Tita. “Antusiasmenya bagus, kadang ada yang bilang literasi kurang, [tapi sebenarnya] karena aksesnya yang kurang, dan tidak diberi berbagai tawaran literasi.”

Tidak jarang yang lebih antusias malah orang tuanya. Baru sadar semua hal, termasuk barang bekas, bisa menjadi wahana bercerita pada anak. “Ada yang bilang ‘Ini pertama kali saya nonton dongeng secara langsung, ternyata seru banget, kayaknya perlu sering-sering aja kita nonton dongeng seperti ini’,” kata Ricky, menirukan perkataan salah satu penonton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Bappenas Targetkan Penurunan Prevalensi Stunting 14,2 Persen di Akhir 2029

News
| Sabtu, 18 Januari 2025, 22:07 WIB

Advertisement

alt

Sepanjang 2024, 100 Juta Wisatawan Kunjungi Museum Sains dan Teknologi di China

Wisata
| Rabu, 15 Januari 2025, 09:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement