Advertisement

Anjing dan Kucing Seakan Tahu Perasaan Pemiliknya, Ini Penjelasannya

Sirojul Khafid
Minggu, 22 Juni 2025 - 09:57 WIB
Sunartono
Anjing dan Kucing Seakan Tahu Perasaan Pemiliknya, Ini Penjelasannya Ilustrasi kucing. - Playbuzz

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Pemilik dan peliharaannya tidak jarang merasa saling nyaman. Di beberapa kondisi, pemilik merasa bahwa peliharaannya, baik kucing atau anjing, menjadi penyelamat di kala sedih atau terluka. Namun apakah kucing dan anjing bisa memahami perasaan pemiliknya?

Konsultan perilaku di rumah sakit hewan Queen Mother di Hertfordshire, Jon Bowen, mengatakan bahwa anjing atau kucing bisa menunjukkan empati dan dukungan. Hal itu, lanjut Bowen, yang membuat adanya ikatan timbal balik yang kuat antara pemilik dan peliharaannya. Tidak hanya itu, "Kontak mata yang dekat antar keduanya, akan melepaskan oksitosin, suatu hormon pengikat," katanya, dikutip dari Guardian, Minggu (15/6/2025).

Advertisement

Sebuah studi tahun 2021 menemukan bahwa 80% pemilik anjing merasa bahwa hewan peliharaan mereka membantu mereka melewati masa-masa sulit. Seorang guru yoga dari Rye di East Sussex, Sally Bayly, kehilangan suami yang meninggal pada tahun 2020. Sejak saat itu, si peliharaan menjadi sangat perhatian padanya dan kedua putranya.

BACA JUGA: Pesawat Saudia Airlines 2 Kali Peroleh Ancaman Bom Lewat Email dan Telepon, Ini Penjelasan Kemenhub

"Seolah-olah dia telah kehilangan salah satu kawanannya dan bertekad untuk tidak kehilangan lagi," katanya. "Setiap kali salah satu dari kami merasa sedih, dia akan datang dan berbaring di dekat kami, mendekatkan kepalanya ke kami, atau menjilati tangan, wajah, bahkan pakaian kami."

Seorang manajer kesehatan dan keselamatan di Irlandia bagian Barat, Margaret Walsh, mengatakan proses anjing peliharaannya membantu putranya yang autis melewati masa-masa sulit. “Anakku sangat bersemangat saat dia terlalu bersemangat, dan begitu Missy (nama si anjing) menyadari tekanan yang dialaminya, dia akan melompat ke pangkuannya, yang membantu mereka berdua rileks,” katanya.

Namun, tidak semua orang di komunitas ilmiah setuju dengan pernyataan bahwa peliharaan bisa mengetahui perasaan pemiliknya. Dosen kedokteran hewan dan etika hewan di Royal Veterinary College, Hertfordshire, Karen Hiestand, yang penelitiannya berpusat pada hubungan manusia-hewan, mengatakan tidak mungkin anjing atau kucing mampu bersimpati atau berempati.

"Ada kepercayaan di beberapa kalangan bahwa kapasitas emosional dan kognitif tertentu, seperti empati, merupakan hak milik manusia," katanya. "Mengaitkan kualitas tersebut dengan spesies lain dianggap antropomorfisme atau 'ilmu yang buruk'."

Kemungkinan Berasal dari Teori Penularan Emosi

Apabila ikatan pemilik dan peliharaan (anjing dan kucing) bukan berasal dari empati si hewan, kemudian apa yang membuat keduanya bisa terhubung? Terdapat teori bernama "penularan emosi". Secara garis besar, teori ini menyatakan bahwa seseorang yang menyaksikan emosi orang lain akan "tertular" emosi yang sama.

Contohnya, ada sekumpulan balita menangis di suatu ruangan. Kemudian ada balita dari luar yang tidak menangis, yang dimasukkan ke dalam satu ruangan tersebut. Maka balita tersebut juga akan ikut menangis. Ada faktor penularan emosi.
Dosen kedokteran hewan dan etika hewan di Royal Veterinary College, Hertfordshire, Karen Hiestand, menyebut kondisi itu sebagai "empati tingkat atas". Artinya, ada komponen kognitif atau proses berpikir yang mengatakan bahwa, "Aku tahu bagaimana perasaanmu, dan aku akan mencoba melakukan sesuatu untuk membantu."

Salah satu cara untuk menyelidiki hal ini pada hewan dengan mereplikasi penelitian yang awalnya dirancang untuk menguji balita. Pemilik berpura-pura mengalami semacam tekanan tiba-tiba dan kita bisa melihat respon hewan peliharaan. Apakah mereka akan terus melakukan apa yang mereka lakukan? Apakah mereka akan merasa senang? Apakah mereka mencoba menawarkan kenyamanan?

Salah satu penelitian tersebut berupaya membedakan antara penularan emosi dan empati yang lebih tinggi dengan melibatkan orang asing. Ketika pemiliknya menangis, sebagian besar anjing menunjukkan perhatian dan rasa nyaman. Hewan peliharaan mendekati pemiliknya dengan perlahan dan lembut. Beberapa anjing mengelus atau menempelkan kaki di tubuh pemiliknya, beberapa anjing mengeluarkan suara merengek.

Namun, bagaimana jika yang sedih orang asing atau bukan pemilik hewan peliharaan? Jika mereka hanya mengalami penularan emosi, anjing akan mendatangi pemiliknya untuk mencari penghiburan saat orang asing itu menangis. Namun, jika empati berperan, maka anjing akan mendekati orang asing yang menangis itu dan berusaha menghiburnya. Dalam penelitian, yang terjadi adalah si anjing menyadari kesusahan orang asing itu, dan mendatanginya untuk menawarkan penghiburan.

Penelitian Hiestand baru-baru ini menggunakan protokol percobaan yang serupa, pemilik berpura-pura mengalami cedera mendadak. Namun, penelitiannya juga melibatkan kucing. Hiestand, yang mengaku sebagai pencinta kucing percaya bahwa teman-teman kucing kita disalahpahami secara luas, dan secara tidak adil dibandingkan dengan anjing.

BACA JUGA: Terbaru! Ini Tempat Parkir Dekat dengan Malioboro Jogja

“Meskipun kita berbagi kehidupan dan rumah dengan keduanya, keduanya sangat berbeda, jika berbicara tentang evolusi,” katanya.

Anjing adalah hewan yang sangat sosial dan hidup berkelompok yang telah berevolusi bersama manusia setidaknya selama 40.000 tahun. Kemampuan anjing untuk membaca perasaan manusia sangat besar. Sementara kucing domestik berevolusi dari nenek moyang yang benar-benar menyendiri, kucing liar Afrika, dan telah hidup bersama manusia dalam waktu yang jauh lebih singkat. "Setiap keramahan yang mereka tunjukkan merupakan efek domestikasi, bukan bagian yang melekat pada diri mereka," katanya.

Dengan demikian, tampilan empati dari seekor kucing dalam eksperimen Hiestand akan sangat luar biasa. Jadi apa yang terjadi dalam penelitian Hiestand? Seperti anjing, kucing-kucing itu mengubah perilaku mereka sebagai respons terhadap cedera yang mereka pura-pura alami.

Para kucing menghentikan apa yang mereka lakukan, saat melihat pemiliknya mengalami tekanan, sedih, atau lainnya. Mereka lebih sering menatap pemiliknya, meskipun tidak selalu mendekatinya. "Dan mereka menunjukkan tanda-tanda stres, biasanya dengan merawat kaki. Entah itu empati, atau apakah itu 'sesuatu yang aneh sedang terjadi pada sumber daya penting ini di duniaku, jadi aku akan mengawasinya', itu tetap penting,” katanya.

Anjing Melihat Wajah, Kucing Mendengar Suara

Anjing mencoba memahami manusia melalui penglihatannya pada bagian wajah. Sementara kucing mencoba mengenali emosi manusia melalui suara.

Studi pelacakan mata yang menggunakan teknologi untuk mengikuti fokus tatapan subjek mengungkapkan, bahwa anjing membedakan pandangannya saat melihat sesama anjing, dan melihat manusia. Jika yang mereka lihat adalah anjing lain, titik fokus pertama anjing adalah telinga, lalu mulut dan mata. Tetapi jika yang mereka lihat adalah manusia, mereka pertama-tama melihat otot frontalis (yang mengerutkan dahi atau mengangkat alis), lalu pipi (yang bekerja keras saat kita tersenyum) dan mata.

Kucing juga mengenali emosi yang direpresentasikan oleh berbagai ekspresi dan nada suara manusia. Mereka juga belajar menggunakan suara mereka sebagai cara mengomunikasikan apa yang mereka rasakan, dengan cara mengeong, terutama ditujukan pada manusia, bukan kucing lain.

“Harry adalah kucing paling vokal yang pernah saya kenal,” kata seorang mahasiswa PhD dari Brighton, Anne Hadley. “Dia membuat Anda tidak ragu akan perasaannya. Suara mengeongnya bervariasi dari yang cerewet hingga mendengkur, hingga suara mengeong yang menuntut dan tanpa basa-basi serta ratapan yang tragis.”

Sebagai seorang perempuan dan pemilik kucing, Hadley mewakili kelompok orang yang paling berhasil dalam sebuah studi tahun 2020 oleh Universitas Milan, yang berupaya menguji seberapa mahir orang dalam mengidentifikasi emosi yang terkait dengan berbagai suara kucing yang mengeong. Kebanyakan orang gagal total.

Dalam penelitian yang dilakukan Holly Molinaro dari Canine Science Collaboratory di Arizona State University, mayoritas dari 300 partisipannya tidak dapat mengukur dengan tepat apakah seekor anjing dalam rekaman video yang mereka lihat sedang senang atau sedih. Molinaro merekam seekor anjing yang menghadapi berbagai situasi, misalnya ditawari camilan, melihat kucing, atau menghadapi pria yang memegang tali kekang atau mengacungkan penyedot debu.

Pada awalnya, ia hanya menunjukkan rekaman anjing itu sendiri kepada peserta. Kemudian ia menunjukkan seluruh video. Dengan informasi kontekstual baru ini, mereka jauh lebih terbuka tentang apakah anjing itu senang atau sedih, tenang atau gelisah. Namun, Molinaro memperhatikan bahwa mereka menilai emosi anjing bukan berdasarkan perilakunya, tetapi berdasarkan situasinya. "Jika ia berada dalam skenario positif, mereka berasumsi ia senang; jika negatif, mereka berasumsi ia tidak senang," katanya.

Untuk mengujinya, Molinaro menyunting video tersebut, menukar anjing dan latar belakang. Misalnya, orang-orang diperlihatkan rekaman saat anjing itu menatap ke arah penyedot debu, tetapi kini ia tampak sedang diperlihatkan tali pengikatnya. Meskipun pada awalnya ia digambarkan merasa "buruk dan gelisah", kini mereka menilai ia "bahagia dan tenang". "Hasilnya jelas menunjukkan bahwa orang menilai emosi anjing bukan berdasarkan perilakunya, tetapi berdasarkan konteksnya," kata Molinaro.

Lebih buruk lagi, ketika mereka yang telah menonton rekaman yang direkayasa itu ditanya informasi apa yang mereka gunakan untuk menilai emosi anjing, mereka memilih "konteks" sebagai jawaban yang paling sedikit, dengan mengaku telah mengamati tindakan dan perilaku anjing. "Kami pikir kami sedang melihat anjing itu, tetapi sebenarnya tidak," katanya.

Hiestand menunjukkan bahwa bahkan ketika kita melihat ekspresi hewan peliharaan kita, kita sering salah mengartikan apa yang kita lihat. “Gagasan bahwa hewan merasa bersalah saat mereka melakukan sesuatu yang 'buruk' tersebar luas, tetapi itu tidak benar,” katanya. “Saat Anda pulang ke rumah dan mereka merobek bantal, yang Anda lihat bukanlah rasa bersalah, melainkan rasa takut. Mereka menyadari bahwa Anda marah atau kesal.”

Sebagian masalahnya adalah manusia tidak dapat menahan diri untuk membayangkan perasaannya dalam situasi tertentu. Manusia memproyeksikan perasaannya sendiri pada situasi tersebut. "Sangat mudah untuk melakukannya," kata Molinaro.
Meskipun kegagalan kita dalam membaca perasaan hewan peliharaan kita terkadang bisa membawa bencana, konsekuensinya secara umum tidak terlalu serius. Seekor anjing harus menahan dirinya saat menerima pelukan dari manusia. Padahal penelitian menunjukkan sebagian besar anjing tidak menikmati pelukan dari manusia.

Seekor kucing yang sangat sabar, yang sewaktu kecil akan dikenakannya dengan pakaian, dan tidak pernah sekalipun mencakar atau protes, belum tentu itu nyaman untuk mereka. Artinya, pemilik tidak serta merta bisa melanjutkannya ke depan, untuk memakaikan baju pada hewan peliharaan.

“Ada anggapan bahwa karena kita mencintai hewan peliharaan, kehidupan mereka akan baik-baik saja,” kata Hiestand. “Itu sama sekali tidak benar. Kita perlu berhati-hati untuk tidak mengabaikan kebutuhan mereka. Kita perlu mengenal mereka, bukan hanya sebagai anjing atau kucing, tetapi sebagai individu.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Ini 10 Rekomendasi dari Komnas HAM Terkait dengan RUU KUHP

News
| Minggu, 22 Juni 2025, 17:57 WIB

Advertisement

alt

Lion Air Buka Penerbangan Langsung YIA-Tarakan, Pariwisata Jogja Diproyeksikan Kian Maju

Wisata
| Jum'at, 20 Juni 2025, 20:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement