Advertisement

Ada 55 Persen Perempuan di Indonesia Menjalani Sunat

Sirojul Khafid
Selasa, 11 Februari 2025 - 07:57 WIB
Sunartono
Ada 55 Persen Perempuan di Indonesia Menjalani Sunat Ilustrasi medis. - JIBI

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Sebanyak 55% perempuan di Indonesia usia 15-49 tahun masih menjalani sunat atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan). Temuan ini berasal dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021.

Tingginya angka ini diperkuat dengan data UNICEF tahun 2015. Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik sunat perempuan. Berdasarkan data UNICEF juga, 200 juta anak perempuan di 30 negara masih melakukan P2GP atau sunat perempuan.

Advertisement

Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Titi Eko Rahayu, menyatakan sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. “Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” kata Titi Eko Rahayu, beberapa waktu lalu, dikutip dari laman Kementerian PPPA.

Praktik yang membahayakan ini masih berlangsung secara turun temurun di masyarakat. Titi memaparkan banyaknya praktik sunat perempuan di Indonesia, salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya dimana perempuan itu tinggal.

BACA JUGA : Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Sleman Berjalan Sepekan, Puskesmas Sleman Baru Terima 1 Pasien

Adapun tiga alasan terbanyak yang diungkapkan oleh perempuan dalam melaksanakan sunat perempuan pada SPHPN tahun 2021 seperti mengikuti perintah agama sebanyak 68,1%. Alasan lain karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya melakukannya sebanyak 40,3%. Terakhir, perempuan yang sunat karena alasan kesehatan seperti dianggap lebih menyuburkan sebanyak 40,3%.

Pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan sejak kecil. Perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa. “Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktek sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” katanya.

Kemen PPPA telah memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan Praktik Sunat Perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan) 2020-2030 yang ditetapkan pada tahun 2019. Rencana itu disusun dengan para stakeholder dari lintas Kementerian/Lembaga dan organisasi masyarakat.

Titi mengatakan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, kementeriannya berupaya memperkuat dan membangun strategi lebih lanjut agar pelaksanaan implementasi Roadmap Pencegahan P2GP. Dia berharap semua pihak bisa ikut berkolaborasi, bekerjasama, bersinergi dalam upaya mencegah tindakan sunat perempuan yang membahayakan tanpa alasan medis.

Asisten Representative United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, Verania Andria, mendukung upaya Kemen PPPA dalam menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk praktik sunat perempuan.

“Melalui pelaksanaan survei SPHPN di tahun 2024 kita nanti bisa menyusun action plan yang lebih komprehensif untuk menghapuskan sunat perempuan. Meskipun permasalahan ini terlihat kecil, tapi sebenarnya hal ini bisa menjadi kunci untuk mencapai masa depan yang bebas dari diskriminasi khususnya bagi perempuan,” kata Verania.

Multitafsir Sunat Perempuan dalam Agama

Sunat perempuan dianggap warisan ajaran agama. Di sisi lain, masih ada anggapan sunat perempuan bukan warisan agama. Salah satu penelitian yang membahas topik ini berasal dari Ratna Suraiya berjudul Sunat Perempuan Dalam Perspektif Sejarah, Medis Dan Hukum Islam (Respon Terhadap Pencabutan Aturan Larangan Sunat Perempuan Di Indonesia). Penelitian itu berasal dari IAI Al-Khoziny Sidoarjo, terpublish dalam Cendekia: Jurnal Studi Keislaman tahun 2019.

Dalam penelitian tersebut, sunat perempuan merupakan praktik tradisi yang muncul sejak zaman Nabi Ibrahim. Eksistensinya dalam syariat Islam tidak memiliki landasan yang kuat. Sebagaimana telah diteliti, tidak ditemukan dalil dalam Al-Qur’an yang secara spesifik melegitimasi praktek tradisi ini

“Sedangkan riwayat-riwayat hadis yang ada tidak menunjukkan bobot kesahihan. Untuk itu, kedudukan sunat perempuan dalam hukum Islam harus diukur menurut relevansi maslahat dan mafsadat yang menjadi akibat dari praktek tradisi tersebut,” tulis dalam laporan tersebut.

Beberapa negara telah memangkas tradisi sunat perempuan dengan membuat aturan pelarangan. Negara-negara tersebut antara lain Afrika, New Zealand, Prancis, Mesir, dan Australia. Di Australia pada Mei 2014, Badan Legislatif NSW mengesahkan RUU Crimes Amendment Bill 2014 mengenai FGM dan menaikkan hukuman menjadi 21 tahun pada siapa pun yang dinyatakan bersalah.

Sedangkan di Negara Islam seperti Mesir tahun 2008 menetapkan praktik sunat perempuan sebagai tindak pidana dengan hukuman penjara minimal tiga bulan dan maksimal dua tahun dengan disertai denda sebesar LE. 5000. Apabila yang menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia adalah sunat perempuan sebagai budaya bangsa, maka sangat tidak mewakili apabila hanya mengakomodasi pendapat-pendapat sebagian kaum muslimin yang fanatik kepada fiqh mazhab klasik.

BACA JUGA : Dimulai Besok, Puskesmas di Jogja Bakal Layani 10 Orang Skrining Kesehatan Gratis

Hal ini berarti mengabaikan fakta ilmiah dari studi keislaman yang berupaya membuktikan bahwa tujuan syariat Islam adalah untuk menciptakan kebaikan bagi umat manusia. “Hal yang sepatutnya dilakukan adalah membuka wacana keislaman secara lebih inklusif, agar agama Islam tidak menjadi kambing hitam dengan mensyariatkan sesuatu yang mengancam stabilitas hidup manusia,” tulisnya.

Penelitian lain terkait sunat perempuan berjudul Khitan Perempuan Antara Tradisi Dan Syari’ah karya Agus Hermanto dari IAIN Raden Intan Lampung tahun 2016. Praktik sunat perempuan, menurut penelitian tersebut, sesungguhnya tidak harus dilakukan oleh setiap perempuan. Sunat dapat dilakukan oleh perempuan jika dia memiliki libido seksual yang tinggi, sehingga dikhawatirkan akan membawanya ke jurang kemaksiatan.

Namun jika sunat perempuan itu tidak mendatangkan manfaat, bahkan merusak organ perempuan, maka perbuatan itu harus ditinggalkan. “Dalam Kaidah Fiqh, kalau suatu perbuatan mendatangkan lebih banyak mudharat daripada kemaslahatan, (la dharara wa la dhirara), maka hukumnya adalah makruh dan harus ditinggalkan,” tulis dalam laporan.

Sunat Perempuan Tidak Bermanfaat Secara Medis

Sunat perempuan dianggap tidak membawa manfaat secara medis. Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Kementerian Kesehatan, Kartini Rustandi, mengatakan sunat perempuan justru bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Praktik sunat perempuan, lanjutnya, dapat memberikan konsekuensi negatif bagi kesehatan. Dalam jangka pendek, sunat perempuan berpotensi menimbulkan komplikasi, demam, luka, perdarahan, pembengkakan jaringan genitalia, infeksi, masalah berkemih dan perlukaan pada jaringan sekitar organ genitalia. Sedangkan dalam jangka panjang, sunat perempuan dapat berdampak pada kerusakan jaringan yang membutuhkan tindakan operasi lebih lanjut, peningkatan risiko komplikasi persalinan, dan bahkan kematian bayi baru lahir.

“Bahkan bisa ada yang juga kalau kena klitorisnya akan terjadi berkurangnya hasrat seksual, infeksi saluran kemih yang berlanjut, dan yang pasti kita khawatirkan adalah trauma psikologisnya,” kata Kartini, beberapa waktu lalu.

Pemahaman itu perlu semakin tersebar di masyarakat. Anggota Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan (Kalyanamitra) Jakarta, Ika Agustina, mengatakan pihaknya terus berupaya mengedukasi komunitas dan publik untuk mencegah terjadinya praktik sunat perempuan. Upaya tersebut termasuk dengan melibatkan kader-kader posyandu dan para ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

“Jadi kami melibatkan ibu-ibu kades posyandu ini untuk juga memasukkan materi pencegahan P2GP, apa itu P2GP dalam penyuluhannya, karena Ini yang kita sasar orang tua yang mungkin dia sudah punya anak perempuan atau sedang dalam keadaan hamil, itu kita langsung ke keluarga-keluarga untuk mencegah P2GP ini,” kata Ika.

Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PB IBI), Ade Jubaedah, mengungkapkan edukasi pencegahan praktik sunat perempuan juga telah dilakukan terhadap lebih dari 400.000 bidan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 320 Tahun 2020 tentang Standar Profesi Bidan tidak satupun mengatur sunat perempuan.

“Kami juga sudah menyampaikan tidak ada tindakan apapun apakah itu membersihkan atau melakukan apapun terhadap genetali perempuan untuk kita tidak lagi melakukan P2GP, walaupun itu hanya sekedar membersihkan alat kelamin perempuan,” kata Ade.

Dia mengingatkan tenaga kesehatan yang melakukan tindakan di luar standar, tanpa ada indikasi medis atau manfaat kesehatan melanggar Undang-Undang Tenaga Kesehatan dan melanggar kode etik profesi, dapat dikenai sanksi dari mulai teguran lisan sampai dengan pencabutan izin praktik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

PBB Menentang Pemindahan Paksa Warga Gaza

News
| Selasa, 11 Februari 2025, 12:37 WIB

Advertisement

alt

Liburan ke Garut, Ini Lima Tempat Wisata Alam Tersembunyi yang Layak Dinikmati

Wisata
| Senin, 27 Januari 2025, 21:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement