Semakin Tinggi Konsumsi Gula Kian Berpotensi Depresi
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Konsumsi gula yang berlebihan bisa berpengaruh pada meningkatnya emosi negatif manusia, begitupun sebaliknya. Konsumsi gula yang berlebihan menjadi ancaman bagi stabilitas emosional masyarakat.
Penelitian tersebut terangkum dalam jurnal berjudul The Impact of Sugar Consumption on Stress Driven, Emotional and Addictive Behaviors Author Links Open Overlay Panel karya Angela Jacques dan kawan-kawan. Penelitian tersebut rilis tahun 2019 di jurnal Neuroscience & Biobehavioral Reviews. Dampak buruk dari konsumsi gula berlebihan semakin diperparah dengan akses yang semakin mudah pada sumbernya.
Advertisement
Kemudahan akses terhadap makanan dan minuman dengan gula tinggi, merupakan kontributor lingkungan terhadap obesitas. Obesitas dan konsumsi gula berlebihan dalam jangka panjang mengakibatkan rendahnya kadar dopamin basal, khususnya pada NAc, yang merupakan mekanisme pendorong keinginan untuk makan berlebihan.
“Hal ini dengan tujuan dapat memulihkan kadar dopamin homeostatis dan menghindari depresi ringan,” tulis dalam laporan. “Konsumsi gula secara berlebihan menunda pelepasan asetilkolin yang diperlukan untuk menandakan rasa kenyang.”
Penelitian lain menunjukkan kadar gula yang tinggi mempengaruhi tingkat stres seseorang. Temuan tersebut berasal dari penelitian berjudul Hubungan Tingkat Stress Dengan Kadar Gula Darah Pada Polisi Yang Mengalami Gizi Lebih Di Polresta Sidenreng Rappang karya Adilah Fitri dan kawan-kawan. Penelitian pada 2021 itu terbit di jurnal The Journal of Indonesian Community Nutrition.
“Semakin tinggi tingkat stres pada seseorang maka semakin tinggi kadar gula darah, sehingga memiliki hubungan antara tingkat stres dengan kadar gula darah seseorang yang mengalami gizi lebih,” tulisnya.
Untuk menanggulangi dampak buruk dari konsumsi gula yang berlebihan, perlu pemeriksaan gula darah rutin minimal setahun sekali. Perlu juga mengontrol berat badan, perilaku makan, rajin berolahraga dan menghindari stres. “Yang lebih penting lagi, pengurangan konsumsi gula yang berlebihan mungkin mampu secara signifikan mengurangi prevalensi emosi negatif pada banyak orang di seluruh dunia,” tulis dalam penelitian.
Label Gula
Pemerintah Indonesia belum lama ini menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Salah satu tujuan utama dari PP tersebut untuk mengurangi konsumsi garam, gula, dan lemak jenuh (GGL) yang berlebihan di masyarakat. Kebijakan ini diperkirakan akan berdampak pada industri makanan dan minuman (mamin) dalam negeri, terutama terkait potensi penerapan cukai pada produk makanan dan minuman kemasan.
Peneliti dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengatakan bahwa pemerintah harus konsisten dalam menerapkan kebijakan tersebut. Tujuannya untuk mendorong pola hidup sehat di masyarakat. Eliza menyarankan agar pemerintah menerapkan sistem klasifikasi pada produk makanan dan minuman kemasan, mirip dengan sistem Nutri-Grade yang diterapkan di Singapura.
Penerapan sistem tersebut dengan mengklasifikasikan produk berdasarkan kadar gula dan lemak jenuh. Saat konsumen hendak membeli produk, mereka dapat lebih mudah memahami kandungan yang ada dalam produk yang mereka konsumsi. "Seperti yang dilakukan Singapura, negara itu memiliki klasifikasi makanan berdasarkan tingkat gula yang disebut Nutri-Grade. Sistem ini digunakan untuk mengetahui kadar gula dan lemak jenuh pada produk minuman dengan adanya klasifikasi ini setidaknya masyarakat menjadi paham makanan mereka masuk klasifikasi yang mana," kata Eliza, beberapa waktu lalu.
Klasifikasi kadar gula pada minuman di Singapura dengan melabeli kode warna, misal hijau tua (minuman dengan 0% gula), hijau muda (minuman dengan maksimal 4% gula), kuning (minuman dengan maksimal 8% gula), dan merah (minuman dengan maksimal 12% gula). Minuman dengan kadar gula di atas 12% dilarang untuk dijual.
Penerapan sistem klasifikasi seperti ini di Indonesia, lanjut Eliza, akan lebih adil bagi perkembangan industri makanan dan minuman, serta dapat meminimalisir kenaikan biaya akibat penerapan cukai. Eliza juga menekankan pentingnya penggunaan jasa pemastian atau TIC (Testing, Inspection, and Certification) untuk melakukan klasifikasi dan sertifikasi keamanan pangan. Dengan informasi yang lebih transparan, kesadaran masyarakat akan meningkat. Produk-produk yang tidak laku dapat mendorong perusahaan untuk berinovasi dan mereformulasi produknya.
Sistem klasifikasi gula sebenarnya sudah diterapkan oleh ritel supermarket Super Indo di Indonesia sejak setahun yang lalu. Menurut General Manager of Corporate Affairs & Sustainability Super Indo, Yuvlinda Susanto, Super Indo merupakan ritel pertama di Indonesia yang menerapkan sistem indikator gula dengan kode warna pada produk minuman siap saji dalam kemasan.
Sistem ini diterapkan setelah koordinasi intensif selama hampir satu tahun dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). "Kami mendapatkan rekomendasi dari BPOM dan juga dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Jadi ada intensif koordinasi, diskusi yang cukup panjang, hampir satu tahun untuk kemudian kami bisa menerapkan sugar indicator ini," katanya.
BACA JUGA : Gula Aren Tak Selalu Jadi yang Terbaik Menggantikan Gula Putih, Ini Penjelasannya
Super Indo menggunakan indikator warna untuk klasifikasi kadar gula yaitu kuning cerah (minuman dengan kurang dari 0,5 gram gula), kuning tua (minuman dengan 0,5 gram hingga 6 gram gula), orange (minuman dengan 6 gram hingga 12 gram gula), dan merah kecoklatan (minuman dengan lebih dari 12 gram gula). Yuvlinda juga mencatat bahwa meskipun ada beberapa produsen yang mempertanyakan sistem ini, banyak yang akhirnya melihat manfaatnya, terutama bagi produk dengan kadar gula rendah yang penjualannya cukup baik.
Bahaya Gula Berlebihan pada Anak-Anak
Asupan gula yang berlebihan pada anak bisa berdampak buruk pada beberapa hal. Orang tua perlu mengawasi makanan dan minuman yang anak-anaknya konsumsi setiap harinya.
Ahli gizi lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tan Shot Yen, mengatakan masih banyak produk makanan dan minuman anak yang memiliki kandungan gula tambahan dan kadar gulanya melebihi kebutuhan anak. Mengonsumsi makanan dan minuman dengan gula tambahan dapat berdampak buruk terhadap kesehatan anak.
"Masalah pertama yang bisa terjadi ialah anak jadi mengalami yang namanya ketagihan, akhirnya hal itu meningkatkan kebutuhan anak terhadap rasa manis yang berlebih," kata Tan, beberapa waktu lalu.
Anak yang mengonsumsi makanan dan minuman dengan gula tambahan atau kandungan gula berlebih, kadar gula dalam darahnya akan tinggi. Kondisi tersebut bisa membuat virus dan bakteri lebih mudah berkembang di dalam tubuh anak. Akibatnya, daya tahan tubuh anak bisa menurun sehingga anak lebih mudah terserang penyakit.
Tan mengatakan bahwa mengonsumsi makanan dan minuman dengan gula tambahan atau kandungan gula berlebih juga bisa menyebabkan anak mengalami obesitas. Anak yang mengalami obesitas rentan mengalami masalah tulang. Hasil penelitian tentang pengaruh obesitas pada masa kanak-kanak terhadap perkembangan dan kesehatan tulang yang dipublikasikan di Journal of Obesity and Metabolic Syndrome pada 2019. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan obesitas 25 persen lebih mungkin mengalami keretakan tulang karena rangka tubuhnya tidak dapat beradaptasi dengan peningkatan masa tubuh.
Konsumsi makanan dan minuman dengan kandungan gula tinggi, lanjut Tan, dapat meningkatkan kadar gula dan kolesterol dalam darah. Kadar gula dan kolesterol dalam darah yang melampaui batas normal dapat memicu munculnya penyakit tidak menular seperti diabetes melitus dan gangguan jantung. Konsumsi makanan dan minuman dengan kadar gula tinggi juga berhubungan dengan peningkatan kemungkinan terserang kanker.
"Memang gula tidak secara langsung mengakibatkan potensi kanker. Tapi, gula menyebabkan obesitas dan ketika kondisi itu terjadi anak akan bertambah berat badan dan naiknya berat badan itu jembatan menuju kanker dibentuk," katanya.
Oleh karena itu, Tan berpesan kepada para orang tua untuk memperhatikan kandungan gula pada makanan dan minuman yang dikonsumsi anak. Hal tersebut agar asupan gula anak tidak sampai melampaui batas. Hasil Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan tingkat konsumsi gula pada anak batita tergolong tinggi. Berdasarkan data kebiasaan konsumsi makanan manis anak kelompok umur 3-4 tahun, sebanyak 50,1 persen batita di Indonesia memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan manis lebih dari satu kali per hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Ini Lima Nama Pimpinan KPK Periode 2024-2029 yang Ditetapkan DPR
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Diguyur Hujan Deras, Dua Talud di Jogja Ambrol
- Kebijakan Opsen Diterapkan, PAD Sleman dari Pajak Kendaraan Diprediksi Tembus Rp200 Miliar di 2025
- Tiga Desa Wisata di Bantul Bersaing Raih Penghargaan Desa Wisata Berkelanjutan 2024
- Persiapan Logistik Pilkada Jogja Disebut Hampir 100 Persen, Mulai Didistribusikan 26 November
- BMKG Keluarkan Peringatan Dini Potensi Hujan Lebat Disertai Petir Sore Ini di Jogja
Advertisement
Advertisement