Ilmuwan Temukan Bongkahan Logam Penghasil Besar Oksigen di Dasar Samudera Pasifik
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Para ilmuwan peneliti Samudera Pasifik merilis hasil temuan terbaru di dasar Samudera Pasifik yaitu nodul atau bongkahan logam yang aneh yang menghasilkan oksigen dalam jumlah besar di dasar laut.
Sekelompok peneliti, yang studinya dipublikasikan di jurnal Nature, pada Senin (22/7/2024) percaya bahwa aktivitas elektrokimia dihasilkan oleh nodul polimetalik yang terbuat dari mangan dan besi.
Advertisement
Nodul itu terlihat seperti bongkahan batu bara dan diyakini bertanggung jawab untuk memecah molekul H2O.
“Kami memiliki sumber oksigen lain di planet ini, selain fotosintesis,” kata Andrew Sweetman, rekan penulis studi, dan ahli ekologi dasar laut di Scottish Association for Marine Science di Oban, Inggris seperti dikutip Sputnik, Rabu (24/7/2024).
Menurut Badan Atmosfer dan kelautan Amerika Serikat (NOAA), sekitar setengah oksigen di bumi berasal dari laut.
Produksinya biasanya dapat dikaitkan dengan plankton samudera, tumbuhan terapung, alga, dan bakteri tertentu, yang keempatnya mampu melakukan fotosintesis.
Para ilmuwan sedang mencari penjelasan di balik fenomena yang agak aneh bahwa di dasar Samudera Pasifik terdapat sejumlah besar oksigen yang dihasilkan oleh sumber yang tidak diketahui.
Temuan tersebut aneh, mengingat fotosintesis tidak mungkin terjadi di kedalaman yang begitu dalam dan gelap, kata para pakar.
BACA JUGA: Tak Ingin Tergesa-gesa Jawab Kesiapan Maju Pilkada, Singgih: Menunggu Pensiun Dulu
Sweetman menambahkan bahwa temuan tersebut dapat mempunyai implikasi dalam memahami bagaimana kehidupan di Bumi pertama kali dimulai, serta kemungkinan dampak penambangan laut dalam di wilayah tersebut.
Sweetman pertama kali mengamati fenomena tersebut pada tahun 2013 saat mempelajari zona Clarion-Clipperton yang merupakan wilayah antara Meksiko dan Hawaii.
Pada saat itu Sweetman yakin dia memiliki peralatan yang rusak ketika peralatan tersebut menunjukkan bahwa oksigen sedang dibuat di dasar laut.
Nodul tersebut membutuhkan jutaan tahun untuk terbentuk dan terbuat dari mineral yang dapat digunakan untuk membuat baterai, sehingga membuka kemungkinan bahwa perusahaan pertambangan akan tertarik pada penemuan itu.
Meskipun mineral-mineral tersebut dapat membantu transisi menuju energi ramah lingkungan, para ilmuwan dan aktivis lingkungan percaya bahwa penambangan laut dalam dapat merusak ekosistem dengan cara yang tidak dapat diprediksi dan memengaruhi kemampuan laut untuk melindungi bumi dari dampak perubahan iklim.
Penambangan yang terjadi pada 1980-an meninggalkan lingkungan yang bahkan bakteri pun belum dapat pulih, menurut ahli biologi kelautan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Pakar Hukum Sebut Penegak Hukum Harus Kejar hingga Tuntas Pejabat yang Terlibat Judi Online
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Hadapi Potensi Bencana Hidrometeorologi, Sekolah Diminta Waspada
- Biro PIWP2 Setda DIY Terus Dorong Percepatan Layanan Sanitasi Berkelanjutan
- Hadapi PSBS Biak di Lanjutan Liga 1, Ricky Cawor: Atmosfer Positif sedang Lingkupi PSS
- Program Makan Bergizi Gratis Butuh Kolaborasi Lintas Sektoral
- Tak Cuma Ribuan Alat Timbang dan Ukur, Pemkab Gunungkidul Juga Tera Ulang SPBU
Advertisement
Advertisement