Advertisement
Putar Hiburan Musik di Ruang Komersial Kini Harus Bayar Royalti

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Seseorang atau pihak yang memutar musik di ruang publik, termasuk resto, cafe, dan sejenisnya, wajib membayar royalti kepada pencipta lagu atau pihak terkait. Apabila tidak, maka ada potensi penempuhan jalur hukum.
Kasus ini belum lama terjadi di Bali. Kepolisian Daerah (Polda) Bali menetapkan Direktur PT. Mitra Bali Sukses, IGASI, yang merupakan pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali, sebagai tersangka dugaan pelanggaran hak cipta lagu. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali, Komisaris Besar Polisi Ariasandy, mengatakan penetapan tersangka ini berawal dari pengaduan masyarakat yang masuk ke Polda Bali pada 26 Agustus 2024.
Advertisement
Setelah dilakukan penyelidikan, lanjutnya, kasus tersebut kemudian ditingkatkan ke tahap penyidikan sesuai dengan Laporan Polisi tertanggal 20 Januari 2025. Sehingga ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Pelapor dalam kasus ini adalah Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia. "SELMI diwakili oleh Vanny Irawan, selaku Manajer Lisensi berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh Ketua SELMI," katanya, Senin (21/7/2025).
BACA JUGA: Kecelakaan 2 Motor Beradu Banteng di Jalan Sambisari Kalasan, Terekam CCTV
Dia menjelaskan kerugian yang dialami pelapor atau nilai royalti yang seharusnya dibayarkan oleh Mie Gacoan, diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Perhitungan ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti Untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu kategori restoran.
Estimasi perhitungan royalti yang digunakan tersebut yakni jumlah kursi dalam 1 (satu) outlet x Rp120.000 x 1 tahun x jumlah outlet yang ada. Aryasandi mengatakan hingga kini berdasarkan hasil penyidikan, hanya satu orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. "Hingga saat ini, hasil penyidikan menunjukkan bahwa tanggung jawab penuh dalam kasus ini berada pada direktur," katanya.
Tetap Bayar Meski Langganan Streaming Musik
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik komersial, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkum, Agung Damarsasongko, mengungkapkan hal tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya.
"Langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik," kata Agung, Selasa (29/7/2025).
Ia menjelaskan layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk kategori penggunaan komersial. Sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.
Dia mengatakan pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait. Skema tersebut memastikan transparansi dan keadilan bagi seluruh pelaku industri musik serta memudahkan pelaku usaha karena tidak perlu mengurus lisensi satu per satu dari setiap pencipta lagu.
"Hal ini memberikan keseimbangan agar pencipta atau pemilik hak terkait musik/lagu mendapatkan hak ekonominya serta pengguna merasa nyaman dalam berusaha atau menggunakan lagu," katanya.
Kekhawatiran Memblokir Lagu Indonesia
Agung juga menanggapi kekhawatiran sebagian pelaku usaha yang menyatakan akan memblokir pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti. Menurutnya, hal itu justru akan melemahkan ekosistem musik lokal dan tidak memberikan apresiasi kepada pencipta/pemegang hak cipta.
Dia berpendapat musik merupakan bagian dari identitas budaya. Sehingga saat pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta lagu Indonesia. Maka yang dirugikan bukan hanya seniman, melainkan juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan.
Sementara itu menanggapi alternatif lain seperti pemutaran musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri, Agung menyampaikan pelaku usaha tetap perlu berhati-hati lantaran tidak semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta. "Beberapa lagu yang diklaim no copyright justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber, termasuk lagu dari luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku,” kata Agung.
BACA JUGA: Keluar dari Rutan KPK, Hasto Akan Hadir di Kongres PDIP
Apabila pelaku usaha tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih yaitu dengan menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free) atau musik dengan lisensi creative commons, yang memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.
Mengenai skema pembayaran, lanjutnya, pelaku usaha dapat mendaftarkan usahanya melalui sistem digital LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Korea Selatan, kata dia, sistem serupa sudah diberlakukan sejak lama.
“Namun tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” katanya.
Di sisi lain, Agung menekankan pihaknya juga memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak dipukul rata kepada UMKM karena terdapat mekanisme keringanan atau pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan yang diatur oleh LMKN, berdasarkan ukuran ruang usaha, kapasitas pengunjung, serta tingkat pemanfaatan musik dalam operasional harian.
Dirinya pun mengimbau pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung ekosistem musik nasional. Dia mengingatkan pelanggaran terhadap kewajiban pembayaran royalti dapat dikenakan sanksi hukum, namun sesuai Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta untuk melakukan mediasi terlebih dahulu.
“Pelindungan hak cipta bukan semata soal kewajiban hukum, melainkan bentuk penghargaan nyata terhadap kerja keras para pencipta yang memberi nilai tambah pada pengalaman usaha Anda,” kata Agung.
Perhitungan Pembagian Royalti
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra lisensi Musik Indonesia (Selmi), Jusak Irwan Setiono, menjelaskan soal perhitungan pembagian royalti kepada para pencipta lagu, produser, dan pemilik hak lainnya. Menurutnya, pembagian tersebut selama ini hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dengan para pemilik hak yang diwakili oleh berbagai LMK.
“Detail penghitungan ini merupakan kesepakatan antara LMKN dengan pihak-pihak terkait karena tidak ada peraturan rincinya dalam undang-undang,” kata Jusak, Minggua (27/7/2025).
BACA JUGA: KA Argo Bromo Anjlok: Puluhan Kereta Api Memutar Lebih Jauh
Jusak menyatakan dalam kesepakatan yang sudah ada, LMKN dan LMK hanya boleh mengambil biaya operasional maksimal 20% dari total jumlah royalti per tahunnya. Dia mencontohkan, misalnya sebuah resto membayar royalti sebesar Rp100 juta dalam setahun maka maksimal 20% di antaranya bisa dialokasikan untuk operasional LMKN dan LMK. Aturan alokasi untuk LMKN dan LMK itu diatur dalam Undang-Undang tentang Hak Cipta.
Setelah itu, menurut dia, terdapat alokasi sebesar 7% untuk disimpan. Simpanan ini untuk para pencipta, produser dan pemegang hak lainnya yang belum bergabung dengan LMK. “Hanya bisa diambil ketika pemegang hak atas royalti itu sudah bergabung dengan LMK atau LMKN,” katanya.
Sisa 73% royalti itu, lanjutnya, yang kemudian akan dibagikan kepada para pemilik hak. Berdasarkan contoh tadi, maka sisa Rp73 juta merupakan jumlah yang akan dibagikan ke pencipta, penyanyi atau pemain band, dan perusahaan rekaman.
Secara rinci, Jusak mengatakan 50% di antaranya akan dibagikan ke pencipta lagu. Sementara 50% sisanya akan dibagi dua, 25% untuk artis atau penyanyi dan 25% lain untuk perusahaan rekaman.
Jusak mengklaim, selama ini pencipta lagu maupun penyanyi belum mendapatkan uang royalti yang besar karena dana yang berhasil dikumpulkan LMK juga belum maksimal. Pada 2024, LMKN mengumpulkan dana royalti sekitar Rp77 miliar, Rp38 miliar di antaranya disumbang oleh Selmi.
Sementara perhitungan penarikan royalti didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: HKI.2.0T.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan Produk Terkait Musik dan Lagu.
Pasal 1 angka 4 aturan itu menjelaskan penghitungan royalti di jasa kuliner berupa restoran dan kafe dihitung berdasarkan jumlah kursi per tahun. Besarannya, royalti pencipta sebesar Rp 60 ribu per kursi per tahun dan royalti hak terkait sebesar Rp60.000 pertahun sehingga total per kursi sebesar Rp120.000 per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Daftar Lengkap Pengurus PDIP 2025-2030, Megawati Jadi Ketum dan Sekjen
Advertisement

Wisata Sejarah dan Budaya di Jogja, Kunjungi Jantung Tradisi Jawa
Advertisement
Berita Populer
- Disperindag Sleman Sidak Toko Penjual Beras Diduga Oplosan di Maguwoharjo, Ini Hasilnya
- Star FM, Ignite The Spark, Semangat Menyala di Usia 16 Tahun
- Pengelola Tambang untuk Tanah Uruk Tol Jogja-Solo di Sampang Gedangsari Divonis 4 Tahun Penjara
- Tak Lagi Bela PSS Sleman, Hokky Caraka Disebut Merapat ke Persita
- Jadwal KRL Jogja Solo Hari Ini, Sabtu 2 Agustus 2025
Advertisement
Advertisement