Melihat Negara dari Kondisi Sungainya
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Sungai seakan cerminan peradaban. Kondisi sungai, bisa mencerminkan orang-orang yang hidup di sekitarnya. Agustinus Irawan lahir di Sleman tahun 1974. Saat dia kecil, sungai menjadi arena bermain yang mengasyikkan. Dia tidak jarang mandi di sungai yang jernih.
Sayangnya, Irawan tidak bisa lagi mandi di sungai, terutama memasuki era 1990-an. Sungai di Sleman mulai tercemar. Dugaan utamanya, banyak permukiman di pinggir sungai, serta usaha-usaha yang membuang limbahnya ke aliran air tanpa penyaringan.
Advertisement
Saat kuliah teknik lingkungan sekitar 1995, Irawan kembali lagi ke sungai. Kali ini berupa penelitian tentang mikrobiologi air. “Waktu itu turun lagi ke sungai, mulai tertarik. Sungai itu asyik, setelahnya banyak mencari literasi tentang sungai,” kata Irawan, Rabu (6/11/2024).
Irawan memandang penting keberadaan sungai. Aliran air ini menjadi sumber penghidupan makhluk hidup, dengan distribusi airnya. Bahkan sejak era-era pembangunan candi di masa lalu, lokasinya selalu berada di samping sungai. Ini menandakan pentingnya sungai bagi kehidupan.
Pola kepedulian pada sungai tidak hanya milik Irawan semata. Banyak komunitas sungai di Sleman yang lahir dengan alasan beragam. Ada yang peduli karena rumahnya di pinggir sungai, peduli terhadap potensi bencana air, atau ajakan untuk membuat komunitas.
Komunitas-komunitas ini yang pada 2018 bergabung dalam Forum Komunitas Sungai (FKS) Sleman. Saat ini, FKS Sleman menaungi 35 komunitas. “Komunitasnya ada yang udah lama terbentuk, ada yang sejak 2003, 2009, hingga 2010,” katanya. “Mereka bergabung karena inisiatif komunitas, kami sudah ada di 12 dari 17 kapanewon yang ada di Sleman, dan tersebar di 16 sungai.”
Ruang Curhat
FKS Sleman seakan ruang curhat para pecinta sungai. Mereka saling berbagi cerita dan keresahan yang sama, meski ruang lingkup sungainya beda-beda. Anggota FKS Sleman berkeinginan menjadikan sungai sebagai garda depan, agar airnya tetap jernih, biota dan vegetasinya bisa hidup, dan airnya bisa bermanfaat bagi sekitarnya.
Di sungai, semua jenis biotanya lengkap, dari air, udara, darat, hingga amphibi. “Kalau semua biotanya ada, berarti sungainya terindikasi lestari,” kata Irawan, yang saat ini menjadi Koordinator Bidang Edukasi dan Konservasi FKS Sleman.
Setiap pekan, FKS Sleman menyelenggarakan bersih sungai. Tempatnya berpindah dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Adapula agenda rutin berupa penanaman pohon dan restocking ikan lokal di sungai. Pemilihan jenis pohon yang bisa menyerap dan menyimpan air, sebagai bagian penguat dari sungai.
Dua bulan sekali, forum juga mengadakan pertemuan bersama. Di momen itu, mereka membahas banyak topik terkait dengan sungai. Beberapa topik yang pernah mereka bahas seperti perawatan burung lokal, cara menyikapi ular di sungai, kesehatan ikan, penegakan hukum tentang illegal fishing, dan lainnya.
“Kami juga mengidentifikasi sumber pencemar di sungai, tidak megukur kadarnya, tapi identifikasi sumbernya. Dari temuan yang ada, sumber pencemar sungai di Sleman, terbanyak dari rumah tangga, usaha, dan perorangan,” katanya. “FKS Sleman juga punya ruang edukasi dan mengajak warga yang di pinggir sungai untuk membentuk komunitas.”
Lihat Sungai Lihat Negara
Kabar buruknya, Irawan menganggap sungai di Sleman semakin memburuk setiap harinya. Semakin banyak permukiman di pinggir sungai. Belum lagi pengubahan pinggir sungai dengan betonisasi. Kedua hal tersebut membuat sungai tidak sempat bernafas. Proses menyimpan dan mengeluarkan air juga terganggu.
Saat musim kemarau, sungai akan kering. Sementara pada musim penghujan, ada potensi kebanjiran. Belum lagi pelanggaran-pelanggaran di sungai yang tidak terjerat oleh hukum.
Namun kabar baiknya, kepedulian masyarakat terhadap sungai semakin bertumbuh. Kepedulian ini bisa dari munculnya komunitas, event, dan kegiatan kebudayaan di sungai. “Peduli dengan sungai tidak harus turun langsung ke sungai. Semua orang bisa menggunakan sumber dayanya masing-masing. Misal orang lewat di samping sungai dan melihat tumpukan sampah, dia foto dan video, viralkan, itu termasuk orang yang peduli,” kata Irawan, yang menjadi Ketua FKS Sleman periode sebelumnya.
Ada tingkatan-tingkatan kepedulian orang terhadap sungai, dari yang sederhana sampai kompleks. Apabila semua berkolaborasi, maka pengelolaan dan masa depan sungai bisa semakin jernih. “Kalau mau lihat pengelolaan suatu negara, maka lihatlah sungainya. Enggak perlu taman kotanya, cukup lihat sungainya, maka kamu akan tahu pengelolaan wilayahnya,” katanya.
Enam Dimensi Pendekatan Edukasi
Forum Komunitas Sungai (FKS) Sleman memiliki enam dimensi pendekatan dalam mengedukasi masyarakat. Pendekatan tersebut berupa morfologi, ekologi, sosiologi, budaya dan religi, mitigasi, dan mitologi sungai. Setiap pendekatan akan disesuaikan dengan karakter dan ruang masyarakatnya.
Pendekatan morfologi sungai erat kaitannya dengan fisik sungai, misalnya melihat unsur sungai di Sleman yang banyak berjenis volcano. Sementara pendekatan ekologi menitikberatkan pada vegetasi dan biota di sungai, melihat perkembangan kelestarian dan pencemarannya. Semisal di sungai sudah tidak ada udang, maka indikasinya air tercemar deterjen. Udang sensitif dengan deterjen.
Untuk pendekatan sosiologi sungai, forum melihat interaksi masyarakat di pinggir sungai, perilaku buang sampah hingga buang hajat di sungai. “Pendekatan budaya dan religi sungai, supaya adat kita tetap merawat air. Hampir semua agama dan kepercayaan menggunakan air dalam beribadah, baik untuk mensucikan diri atau berdoa. Artinya kelestarian air menjadi penting,” kata Irawan.
Sementara untuk pendekatan mitigasi, masyarakat sekitar perlu tahu tipe sungainya. Tipe sungai mulai dari jenis arus hingga perubahan fisiknya. Lebih lanjut, perlu pemahaman untuk mitigasi semisal dalam kondisi darurat. FKS Sleman mengusulkan adanya jalur evakuasi di sekitar sungai kepada pihak terkait.
Pendekatan terakhir terkait mitologi sungai. Setiap sungai punya mitosnya masing-masing. Misalnya ada mitos bahwa sungai di Sleman menjadi jalur pasukan Laut Selatan saat hendak berkunjung ke Gunung Merapi. Apabila mereka lewat, maka akan terjadi banjir bandang. “Maka dari itu, jangan sembarangan kencing dan buang sampah di sungai yang menjadi jalur mitos itu. Kami bekerja sama dengan budayawan dan lainnya, agar pendekatan mitologi bisa menjadi ilmiah,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Program Dinas Sosial, Ratusan Warga Lansia di Kabupaten Magelang Diwisuda
Advertisement
Minat Berwisata Milenial dan Gen Z Agak Lain, Cenderung Suka Wilayah Terpencil
Advertisement
Berita Populer
- Pemanfaatan Ruang Pengolahan POC & Panen Hidroponik di The Phoenix Hotel Yogyakarta
- Stok Darah dan Jadwal Donor Darah di DIY pada Selasa 12 November 2024
- Bawaslu Bantul Tindak Lanjuti Enam Dugaan Pelanggaran Pilkada 2024
- Pemancing Asal Tepus Terseret Ombak dan Hilang di Barat Pantai Jogan
- Kronologi Pemancing Jatuh dan Hilang di Pantai Jogan Gunungkidul
Advertisement
Advertisement