Advertisement

57 Persen Ibu Melahirkan di Indonesia Alami Baby Blues

Sirojul Khafid
Sabtu, 10 Februari 2024 - 13:47 WIB
Sunartono
57 Persen Ibu Melahirkan di Indonesia Alami Baby Blues Ilustrasi melahirkan. - Huffington Post

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Sebanyak 57 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues atau depresi pasca-melahirkan. Laporan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ini menekankan pentingnya pemberdayaan para kader Bina Keluarga Balita (BKB) untuk mengatasinya.

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, Nopian Andusti, mengatakan persentase baby blues di Indonesia tersebut merupakan yang tertinggi di Asia. Baby blues syndrome merupakan keadaan depresi yang bersifat sementara dan biasa dialami oleh kebanyakan ibu yang baru melahirkan karena adanya perubahan hormon. Nopian menjelaskan penurunan hormon tertentu dalam jumlah yang banyak dan secara tiba-tiba akan menurunkan stamina ibu pasca-melahirkan.

Advertisement

BACA : Pemkot Jogja Pastikan Faskes Persalinan Tetap Buka 24 Jam di Libur Tahun Baru

Selain itu, konflik batin atas kemampuan seseorang yang baru menjadi ibu mengakibatkan rasa cemas berlebih atas penerimaan serta penolakan terhadap peran baru, yang mengakibatkan seorang ibu mengalami baby blues syndrome. "Melalui berbagai edukasi, kami berharap dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kader BKB dan peserta mengenai keadaan baby blues, sehingga peserta maupun kader BKB dapat mengetahui dan menindaklanjuti saat diri sendiri maupun orang sekitar mengalami baby blues," kata Nopian, dikutip dari Antara, beberapa waktu lalu.

Psikolog dari Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Naftalia Kusumawardhani, mengatakan proses hamil merupakan proses berat yang dialami seseorang, sehingga mempengaruhi keadaan baby blues.

"Proses hamil itu berat bagi seorang ibu, ke mana-mana selama sembilan bulan membawa bayi bukanlah hal yang mudah. Bagi ibu yang kehamilannya diharapkan, tentunya masa itu menyenangkan. Tetapi bagi mereka yang tidak berharap hamil, pernah mengalami kesulitan sebelumnya, sedang konflik dengan keluarga, dan sebagainya, maka masa kehamilan ini bisa jadi tidak menyenangkan," katanya.

Naftalia mengutarakan ada seorang klien yang bercerita kepadanya setelah mengalami kondisi yang tidak menyenangkan pada kehamilan pertama sehingga memicu kondisi baby blues. "Ada salah satu klien yang mengaku saat kehamilan pertamanya, dia mengalami stres yang berat karena suaminya selingkuh. Ibu itu bercerita, 'seandainya aku enggak hamil, aku bisa meninggalkan suamiku dengan gampang'," kata Naftalia.

Psikolog yang praktik di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Waru, Jawa Timur, itu menjelaskan pengalaman-pengalaman ketika hamil akan mempengaruhi sikap ibu terhadap bayi ketika melahirkan. "Jadi pengalaman-pengalaman ketika hamil akan mempengaruhi proses hamil dan sikap ibu, juga mempengaruhi sikap anak terhadap kehidupan dan keluarganya, jadi saling berkait," katanya.

Untuk itu, ia menekankan pentingnya dukungan keluarga terdekat kepada sang ibu untuk mencegah kondisi baby blues, sehingga baik ibu maupun anak dapat memiliki hubungan emosional yang terjalin dengan baik. Selain itu, dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk para kader BKB juga penting untuk menjaga kesehatan mental ibu.

Tunda Pernikahan

Pasangan yang belum siap secara fisik dan mental perlu mempertimbangkan untuk menunda pernikahan. Menurut Psikolog dari Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Naftalia Kusumawardhani, hal tersebut demi mencegah baby blues atau depresi pasca melahirkan yang parah.

"Tunda pernikahan apabila usia calon pengantin masih terlalu muda, karena secara psikologis belum siap untuk menjadi orang tua. Ada banyak perubahan kehidupan setelah menjadi orang tua yang mengagetkan dan menyita perhatian orang tua baru," kata Naftalia.

Gejala baby blues yang kerap terjadi yaitu mudah sedih dan menangis, sensitif, cemas, takut, tidak percaya diri, merasa kehabisan tenaga, tidak tertarik merawat bayi, merasa gagal, tidak berharga, tidak nyaman, bingung tanpa sebab, dan tidak sabar. Apabila gejala tersebut berlangsung selama dua pekan, maka ibu harus berani ambil keputusan untuk mencari bantuan ke psikolog.

“Pengalaman melahirkan itu unik, tidak universal, maka sebaiknya ibu tetap berobat dan tidak terpengaruh anggapan orang yang memandang negatif. Justru ibu hebat-lah yang tahu cara antisipasinya," katanya.

Baby blues dapat dialami karena perubahan kehidupan setelah menjadi orang tua tidak hanya tentang mengasuh anak, tetapi juga hubungan dengan anggota keluarga, mertua, dan ipar yang mengalami transisi. Ibu yang kelelahan dan memiliki beban dapat menyebabkan kurang optimalnya pengasuhan di masa emas anak yakni di 1.000 hari pertama kehidupan atau usia 0-2 tahun.

"Ibu yang terlalu capek dan memiliki beban tambahan dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi bayi. Ibu stres, ASI tidak keluar, kelelahan sampai tidak sempat memperhatikan gizi dalam menu makanan bayi, akibatnya pengasuhan di 1.000 Hari Pertama Kehidupan kurang optimal," paparnya.

BACA JUGA : Angka Kematian Ibu di Gunungkidul Meningkat pada 2023, Ini Penyebabnya

Untuk itu, ia menekankan kepada para calon orang tua pentingnya memiliki pengetahuan tentang kehamilan hingga pasca melahirkan. Penambahan wawasan ini akan membentuk kesiapan dan mengoptimalkan persiapan calon orang tua. Persiapan dalam segala aspek juga perlu dilakukan, tidak hanya finansial, tetapi juga secara fisik dan psikologis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Tiga Ribu Lebih WNI Terjerat Online Scam Sejak 2021

News
| Minggu, 28 April 2024, 23:07 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement