Advertisement

JAFF 2014 : Memandang Ulang Asia Melalui Film

Arief Junianto
Minggu, 30 November 2014 - 01:15 WIB
Mediani Dyah Natalia
JAFF 2014 : Memandang Ulang Asia Melalui Film

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Jarak antara film panjang dan pendek menjadi isu penting dalam perfilman di dunia. Atas dasar itulah, Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) kembali digelar. Mengambil tema Re-Gazing at Asia, festival yang digelar selama lima hari, mulai 1 hingga 6 Desember 2014 memiliki misi lebih jeli memandang ulang wajah Asia saat ini.

Secara konsep, festival itu masih sama dengan acara-acara sebelumnya. Mulai dari sembilan program hingga pemilihan lokasi pemutaran film. Panitia memilih tiga titik pemutaran film, yakni di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Taman Budaya Yogyakarta (TBY), dan Empire XXI. Selain itu, penyelenggara juga menetapkan empat desa wisata di DIY sebagai lokasi pemutaran film untuk program open air cinema, yakni Desa Wisata Giriloyo, Nitiprayan, Sidoakur, dan Banyusumilir.

Advertisement

Festival Director Budi Irawanto menuturkan, open air cinema sengaja digelar sebagai ajang untuk mendekatkan filmmaker dengan publik, sekaligus membantah anggapan film hanya bisa diputar di gedung-gedung bioskop.

"Lagipula di Indonesia juga punya tradisi layar tancap dan bioskop keliling," kata Budi saat menggelar jumpa pers di Gudeg Yu Djum, Jumat (28/11/2014).

Pemilihan tema Re-Gazing at Asia didasari atas penekanan terhadap peran penting sutradara dan produser perempuan yang membantu publik dalam memandang ulang Asia lewat sentuhan afeksi serta dijiwai oleh semangat kesetaraan.

Dalam rangkaian festival tersebut, panitia memilih film karya filmmaker Jepang Hirokazu Koreada berjudul Like Father Like Son sebagai film pembuka. Film ini bercerita tentang persoalan keluarga domestik yang secara stereotipikal, selama ini dianggap ranah perempuan. Sementara sebagai film penutup, panitia akan memutar film karya filmmaker asal Korea Selatan, Bong Joon-Ho, berjudul A Glimpse of Current.

"Pembukaan akan kami gelar di Empire XXI," ucapnya.

Untuk tahun ini, panitia menggelar JAFF dengan sistem berbayar. Dengan menerapkan pembayaran tiket Rp5.000 per pertunjukan, panitia tak hanya ingin menumbuhkan spirit kemandirian di tubuh JAFF sendiri, namun juga ingin melihat sejauhmana animo publik terhadap film itu sendiri.

"Dengan begitu, filmmaker dan karyanya bisa jauh lebih dihargai," ungkapnya.

Salah satu tim selektsi film, Ismail Basbeth menjelaskan, dalam JAFF 2014, pihaknya menyiapkan program baru yakni The New Faces of Indonesian Cinema Today. Program itu dibuat khusus untuk filmmaker Indonesia yang dinilai memiliki keberanian dalam menghasilkan film yang berjejak pada kondisi sosial budaya yang unik dan beragam.

Panitia telah menyeleksi 12 judul film, terdiri dari enam film pendek dan enam film features. Tak sembarang filmmaker yang bisa masuk program ini. Setidaknya filmmaker harus mampu menunjukkan sesuatu yang bersifat penting dalam perkembangan film dan kebudayaan Indonesia.

Beberapa film yang masuk program tersebut di antaranya Noah karya Putrama Tuta, Tabula Rasa karya Adriyanto Dewo, dan The Raid 2: Berandal karya Gareth Evans.

"Film itu harus bisa mewakili konteks yang lebih luas. Jadi nilai pentingnya juga bisa dirasakan oleh banyak pihak," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Terbukti Terima Suap, 3 Eks Pejabat DJKA Divonis Bui dan Uang Pengganti Total Rp2,5 Miliar

News
| Senin, 11 Desember 2023, 22:47 WIB

Advertisement

alt

Cari Tempat Seru untuk Berkemah? Ini Rekomendasi Spot Camping di Gunungkidul

Wisata
| Rabu, 06 Desember 2023, 20:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement